Manuver ‘koboi’ Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa untuk memacu ekonomi dengan memindahkan dana segar Rp200 Triliun ternyata menyimpan bom waktu hukum. Pengamat hukum ET Hadi Saputra membongkar bagaimana langkah ambisius tersebut berpotensi melangkahi Pasal 22 UU Perbendaharaan Negara, yang merupakan “kitab suci” keuangan negara. Apakah niat baik Purbaya untuk pertumbuhan berujung pada terciptanya preseden buruk yang melanggengkan penggunaan uang rakyat secara tidak akuntabel? Simak analisis mendalam ini, sebelum manuver berani itu menciptakan kekacauan fundamental.
Siapa tak kenal Purbaya? Baru sebulan jadi Menteri Keuangan, sudah bikin geger. Gayanya koboi, ceplas-ceplos. Pasar suka, tapi banyak ahli, terutama para ekonom senior, geleng-geleng kepala.
Saya, sebagai pengamat hukum, harus ikut geleng-geleng. Bukan karena gayanya. Bukan karena target ekonomi 8 persen itu. Tapi karena satu manuver uang yang—terus terang saja—bikin hati saya deg-degan.
Ini soal duit Rp200 Triliun. Jumlah yang bukan receh.
Uang Pindah, Aturan Dilangkahi?
Begini ceritanya. Pak Purbaya, dengan niat yang kita tahu baik—mau menggenjot kredit dan ekonomi—memindahkan dana segar dari rekening pemerintah (entah itu di Bank Indonesia atau kas umum negara) ke bank-bank BUMN, Himbara, untuk disalurkan jadi kredit. Tujuannya, uang itu cepat beredar di masyarakat. Teorinya: gaspol pertumbuhan.
Nah, di sinilah letak persoalan hukumnya.
Uang negara itu bukan sekadar angka di buku tabungan. Ada undang-undang yang mengaturnya, namanya UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Undang-undang ini adalah “kitab suci” kita soal duit negara. Ia mengatur ketat bagaimana duit itu boleh masuk, boleh keluar, dan boleh dialihkan.
Para ekonom, seperti Didik Rachbini, menyoroti prosedur ini. Ini bukan sekadar kritik ekonomi, ini sudah menyentuh kulit hukum.
Duit Rp200 Triliun itu kan sudah punya “rumah” di APBN. Walaupun katanya “hanya dipindahkan” dan bukan “pengeluaran,” logikanya begini: uang yang semula ditempatkan di satu pos dan ditujukan untuk stabilitas tertentu, tiba-tiba diubah peruntukannya secara masif untuk stimulus kredit.
Bagi saya, ini seperti Anda punya uang gaji yang sudah dialokasikan untuk cicilan rumah, lalu tiba-tiba tanpa persetujuan istri (DPR), Anda pakai untuk membeli mobil baru. Tujuannya sama-sama untuk keluarga, tapi prosedurnya salah total.
Pasal-Pasal yang ‘Menjerit’
Dalam konteks hukum APBN, setiap perubahan alokasi yang sifatnya fundamental wajib mendapatkan persetujuan dari DPR. Undang-Undang Perbendaharaan Negara itu secara gamblang menyebutkan batas-batas kewenangan eksekutif.
Secara spesifik, Pasal 22 UU No. 1 Tahun 2004 berbicara tentang pelaksanaan anggaran. Ketika kebijakan fiskal melibatkan pemindahan dana besar di luar mekanisme yang disepakati, itu berpotensi melanggar:
- Prinsip Disiplin Fiskal: Dana publik harus digunakan sesuai rencana. Ketika Menkeu berargumen “ini hanya uang kita dipindahkan saja,” itu menipiskan batas antara pemindahan kas dan perubahan kebijakan alokasi yang seharusnya tunduk pada persetujuan DPR.
- Pasal 22 Ayat (4), (8), dan (9): Ayat-ayat ini mengatur bahwa perubahan alokasi anggaran, terutama untuk program baru atau percepatan penyerapan, harus tunduk pada mekanisme persetujuan tertentu, apalagi jika menyangkut jumlah fantastis seperti Rp200 Triliun. Melangkahi proses ini sama saja menggerogoti peran pengawasan DPR dan prinsip akuntabilitas yang menjadi tiang penyangga tata kelola keuangan negara.
Pak Purbaya bilang: “Ini bukan pelanggaran. Dulu sudah pernah dilakukan.”
Memang. Ia menyebut praktik di tahun 2008 dan 2021. Tapi, perlu diingat, praktik yang berulang belum tentu menjadi legal jika melanggar kaidah undang-undang yang ada. Bahkan, jika itu terjadi, maka kesalahan itu harus dikoreksi, bukan dijadikan pembenaran. Hukum tidak mengenal justifikasi berdasar kebiasaan buruk.
Jangan Korbankan Hukum Demi Kecepatan
Ekonomi harus digenjot, iya. Tapi, apakah kita harus mengorbankan disiplin hukum demi kecepatan?
Bahaya terbesar dari manuver ala “koboi” di sektor fiskal ini adalah terciptanya preseden buruk (bad precedent). Jika Menkeu hari ini bisa memindahkan Rp200 Triliun tanpa proses anggaran yang jelas, maka Menkeu berikutnya bisa melakukan hal yang sama (atau lebih parah) hanya dengan dalih “percepatan” atau “keadaan mendesak.”
Kita punya undang-undang untuk menjaga agar uang rakyat tidak dipakai “seenaknya.” Inilah inti dari Good Governance.
Pak Purbaya mungkin seorang ekonom brilian, ahli fiskal. Tapi ketika ia menjabat Menteri Keuangan, ia juga seorang administrator dan penegak hukum anggaran. Keahlian ekonomi harus berjalan seiring dengan kepatuhan pada hukum.
Jika para ahli ekonomi saja sudah teriak soal prosedur, maka alarm hukum seharusnya berbunyi lebih keras. Jangan sampai niat baik mengantarkan kita ke jurang yang melanggar konstitusi keuangan negara.










