Oleh: ET Hadi Saputra, 20 Oktober 2025,
Mendalami Hukum Adat, Meresapi Filosofi Alam Nusantara
SIAPA BILANG BATU ITU BISU?
Anda mungkin terbiasa melihat Borobudur hanya sebagai tumpukan batu megah. Cuma candi. Tempat selfie turis. Atau paling tinggi, sekadar situs Warisan Dunia.
Saya katakan, Anda salah besar!
Borobudur itu bukan batu mati. Borobudur adalah perpustakaan yang membeku! Ia menyimpan seluruh pengetahuan peradaban tertinggi Nusantara, abad ke-8. Dan yang paling gila: Ia juga menyimpan sebuah orkestra yang menunggu 13 abad untuk dibunyikan kembali.
Inilah Sound of Borobudur (SOB). Gerakan yang membuat kita tersentak: Kita ini punya peradaban musik yang sudah mendunia sejak kakek buyut kita belum lahir!
GAGASAN GILA DENGAN AKAR KEILMUAN KOKOH
Hebatnya ide ini lahir bukan dari birokrasi, tapi dari kegelisahan nurani. Dari jiwa-jiwa yang tidak tahan melihat warisan setinggi langit hanya jadi latar foto.
Ada orang-orang gila di balik ini.
Bayangkan Trie Utami. Seniman cerdas ini, yang awalnya cuma mencari arti pulang kampung di Borobudur, justru menemukan harta karun di relief Karmawibhangga (relief kaki candi yang tersembunyi). Di sana, ia melihat—bukan sekadar gambar—tapi instrumen musik kuno yang sangat detail: kecapi, harpa, seruling, dan berbagai jenis gendang.
Kenapa relief sedetail ini tak pernah dibunyikan?
Itu pertanyaan yang langsung menyengat. Pertanyaan yang menggerakkan. Trie Utami pun lantas menjadi ujung tombak riset awal bersama tim lintas disiplin ilmu dari Jaringan Kampung Nusantara, dengan Rully F. Baksh sebagai konseptor program. Mereka inilah penjelajah awal yang “membaca” notasi yang tertulis di batu.
Tapi, jangan salah sangka. Ini bukan sekadar iseng-iseng seniman. Ini adalah kerja keilmuan dengan pikiran ilmiah lintas disiplin yang sangat kokoh. Universitas Brawijaya (UB) adalah rumah akademik bagi SOB. UB bermitra erat dengan yayasan, menjadi pusat riset dan pengembangan keilmuan dengan banyak crash program. Mereka adalah otak intelektual di balik seluruh kerja SOB.
SOB adalah Lokomotif musik yang dahsyat. Relnya adalah sains dan teknologi. Gerbong-gerbongnya membawa isu-isu budaya, keilmiahan, dan kebangsaan. Setiap nada, setiap komposisi, dibangun dari fondasi keilmuan yang solid. Mereka bahkan dibantu arkeolog Dwi Cahyono untuk menamai alat-alat musik itu dengan nama yang baru dan otentik.
Mereka pun “menghasut” dua maestro lain:
Dewa Budjana: Gitaris yang melampaui zaman. Ia diajak untuk menjadi penyihir modern yang bisa menginterpretasikan harmoni 13 abad silam ke dalam notasi masa kini.
Purwa Tjaraka: Komposer ulung, yang lewat Yayasan Padma Sada Svargantara, turut memperkaya dimensi musikal dan menjadi mitra strategis yang tak terpisahkan dari perjalanan SOB.
Mereka bukan sekadar musisi, mereka adalah arkeolog bunyi. Mereka menantang dunia dengan satu klaim: Borobudur adalah Episentrum Musik Dunia.
HUKUM ADAT BUNYI DAN FILOSOFI KEMBAR
Mengapa Sound of Borobudur ini begitu penting? Karena ia bicara tentang Hukum Adat Nusantara dan Filosofi Alam.
Dalam kacamata Hukum Adat, ada yang namanya Kepemilikan Komunal. Borobudur bukan properti satu orang, melainkan pusaka bangsa. Maka, membunyikan warisan di dalamnya adalah hak dan kewajiban kolektif. Gerakan ini memaksa kita untuk melihat Borobudur sebagai Sumber Daya Hidup, bukan sekadar aset statis.
Borobudur pun berada di titik temu spiritual. Di antara Sungai Progo dan Elo, dikelilingi perbukitan yang menurut kepercayaan kuno adalah jelmaan Gunung Mahameru—pusat kosmos. Sound of Borobudur seolah menjadi upaya untuk mengembalikan Harmoni Soundscape Sakral yang pernah hilang.
Kita semua tahu hukum alam: “Sebab-Akibat.” Relief Karmawibhangga isinya tentang itu. Dan alat-alat musik itu muncul di sana bukan tanpa sebab. Kehidupan yang laras, peradaban yang tinggi, pasti menghasilkan bunyi yang indah dan harmonis.
Sound of Borobudur adalah alarm yang membunyikan kembali hukum kausalitas itu: Untuk mencapai peradaban yang harmonis (sebab), kita harus kembali pada kearifan leluhur yang terekam (akibat).
Mereka berhasil merekonstruksi alat-alat dawai dari pahatan. Mereka membuktikan bahwa 13 abad lalu, orkestra kita sudah lengkap.
Ini adalah pergerakan yang melampaui panggung konser. Ini adalah Gerak Bangsa yang mengantar kita pulang ke identitas diri. Sound of Borobudur bukan tentang musik aneh, tapi tentang DNA bangsa yang ditemukan kembali, dibunyikan, dan siap menggema ke seluruh dunia. Lebih dari itu, SOB adalah instrumen diplomatik budaya yang canggih, bukan sekadar diplomasi dalam wilayah musik, tapi sebagai cara Indonesia berbicara pada dunia tentang kedalaman peradabannya.
SPIRAL KEBUDAYAAN DAN KATA KERJA
Lihatlah ke negara-negara besar. China, Jepang, Korea, dan India juga melakukan hal yang sama walau dengan intensitas dan kuantitas yang berbeda. Mereka melihat budaya bukan sekadar domain kesenian, tapi sistem pengetahuan.
SOB menjalankan proses pembudayaan di dua kutub alamiahnya:
- Kutub Traditif: Tuntutannya adalah preservatif (melestarikan).
- Kutub Modern: Tindakannya adalah progresif (mengembangkan dan mengamplifikasi).
Inilah yang dinamakan spiral kebudayaan. Tradisi dilestarikan, lalu diangkat ke panggung modern dengan sains. Begitulah peradaban besar dunia bekerja, dan kini, Indonesia bergabung dalam liga tersebut.
Sekarang, setelah Anda tahu, apakah Anda masih mau membiarkan tumpukan batu itu hanya berbisik? Atau Anda akan ikut merasakan gaung dahsyat peradaban musik Nusantara yang baru saja mereka bangkitkan, didukung oleh riset ilmiah yang kuat?
Ingatlah ideologi kerja mereka, sebuah tamparan keras bagi mentalitas menunggu:
WARISAN ADALAH KATA KERJA.







