Galileo dituduh gila karena bilang bumi itu bulat. Empat abad kemudian, di negeri kita, ada yang dipolisikan cuma karena bertanya, “Ijazahmu asli?” Sepertinya, kekuasaan masih jadi raja, mengalahkan akal sehat. Duh.
Oleh: ET Hadi Saputra, SH. (11/11/2025)
Dulu, Galileo Galilei harus berhadapan dengan pengadilan Inkuisisi. Kesalahannya fatal, kata mereka: berani-beraninya bilang bumi ini mengelilingi matahari, bukan sebaliknya. Keyakinan gereja saat itu, bumi adalah pusat semesta. Siapa yang berani membantah dogma, siap-siap saja dihukum. Galileo akhirnya “tobat” di bawah tekanan, meski konon berbisik, “Tapi bumi itu bergerak.” Ya, begitulah nasib ilmu pengetahuan ketika berhadapan dengan kekuasaan yang merasa paling benar.
Cerita itu rasanya tidak jauh beda dengan apa yang terjadi di negeri kita tercinta ini. Saya jadi teringat obrolan di warung kopi. Ada seseorang yang cuma bertanya, “Maaf, boleh saya tahu, ijazah Anda itu asli atau tidak, ya?” Pertanyaan sederhana. Pertanyaan yang wajar. Apalagi jika yang ditanya adalah pejabat publik, atau seseorang yang memegang amanah besar. Harusnya dijawab saja dengan bukti. Selesai perkara.
Tapi apa yang terjadi? Bukan klarifikasi yang didapat, malah panggilan polisi. Pasal pencemaran nama baik, katanya. Lho, kok bisa? Apakah bertanya tentang keabsahan dokumen penting itu sekarang masuk kategori kejahatan? Jujur saja, saya jadi geleng-geleng kepala. Ini bukan lagi soal perdebatan ilmiah, ini soal hak masyarakat untuk tahu kebenaran. Ini soal transparansi.
Coba bayangkan, jika semua pertanyaan kritis langsung dianggap serangan, bagaimana kita bisa maju? Bagaimana kita bisa memastikan bahwa orang-orang yang memimpin kita itu memang punya kapasitas? Kan lucu. Ibaratnya, kita beli kucing dalam karung, lalu pas ditanya, “Ini kucingnya jenis apa?” malah dimarahi.
Padahal, semangat zaman sekarang itu keterbukaan. Apalagi di era digital, semua serba bisa dilacak. Informasi mengalir deras. Jika ada yang mencoba membendung dengan jurus kekuasaan, rasanya kok ketinggalan zaman. Ini bukan lagi soal saya benar, kamu salah. Ini soal fakta. Soal bukti.
Dulu, di zaman saya kuliah hukum, kami diajari bahwa salah satu fungsi hukum adalah menciptakan keadilan. Keadilan itu harusnya objektif, tanpa pandang bulu. Tapi, kalau yang bertanya kebenaran malah dipidanakan, rasanya keadilan itu jadi pincang. Atau jangan-jangan, keadilan memang punya dua muka, ya? Satu untuk si kuat, satu lagi untuk si lemah. Saya jadi teringat ungkapan klasik, “Hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas.” Semoga saja tidak demikian.
Maka dari itu, mari kita renungkan. Jangan sampai akal sehat kita kalah dengan dogma kekuasaan. Mari terus bertanya, mari terus mencari kebenaran. Jangan takut. Karena kebenaran, seberat apapun ia, pasti akan menemukan jalannya. Seperti bumi yang tetap berputar, meski Galileo sempat bungkam.
#ilmudankekuasaan #kebebasanbertanya #hukumdansosial #kritisberpikir #transparansipublik #demokrasisehat #ethadisaputra










