Bapak dan Ibu sekalian. Saya harus bicara ini.
MBG itu proyek masa depan. Proyek yang menghabiskan uang besar. Tapi saya lihat di piring anak-anak kita, isinya kok itu-itu saja? Nasi lagi.
Padahal, negara kita ini sudah terlalu kaya. Sampai-sampai harta karun sendiri diabaikan.
Birokrat kita itu memang unik. Mereka senang dengan yang susah diurus. Yang harus dihitung bibitnya, dipupuk, disemprot, lalu dijemur. Kenapa? Karena yang susah diurus, itu gampang sekali dianggarkan. Lengkap pos anggarannya.
Coba kita tengok ke Maluku, ke Papua. Ada namanya Sagu. Pohon Sagu itu hebat sekali. Dia tumbuh sendiri di lahan basah. Dia tidak minta dirawat intensif. Dia tidak butuh pupuk mahal dari pabrik. Tahu-tahu sudah besar. Tinggal ditebang, diambil patinya.
Karbohidrat murni. Bebas gluten. Energi yang luar biasa.
Ada juga Matoa di Papua. Buah eksotis itu. Tumbuh liar. Tidak minta diurus. Kalau sudah musim, buahnya melimpah ruah. Energi dan gizi gratis dari alam.
Sagu dan Matoa ini adalah anugerah. Mereka tumbuh di lahan yang tidak dilirik padi. Mereka tidak bersaing.
Ini yang saya ngotot. MBG sekarang dipegang industri. Mereka maunya yang stabil. Yang bisa disetor ribuan ton per hari. Supply chain harus rapi. Betul.
Tapi, bukankah industri itu harusnya kreatif?
Kalau Sagu atau Matoa sulit disetor dalam bentuk mentah, kenapa industri tidak mau berinvestasi besar di pabrik pengolahan hulu?
Pati Sagu itu bisa diolah jadi tepung termodifikasi. Stabil. Bisa jadi bahan dasar biskuit MBG. Bisa jadi mie. Bisa jadi adonan pengganti nasi. Ini sudah bukan masalah teknis. Ini masalah kemauan.
Industri hanya melihat risiko pasokan. Tapi mereka lupa. Pasar yang mereka pegang adalah pasar yang pasti. Puluhan juta porsi!
Seharusnya negara memaksa. Peraturan hukum harus disuntikkan di sini. Wajibkan industri MBG untuk mengambil X persen kebutuhan karbohidrat dari sumber yang minim perawatan ini.
Kalau Sagu dan Matoa bisa masuk ke menu MBG, itu namanya sekali mendayung, tiga pulau terlampaui.
Pertama, anak-anak dapat gizi terbaik, bebas gluten. Kedua, kita menciptakan ekonomi baru bagi masyarakat di Indonesia Timur. Ketiga, kita menunjukkan ke dunia: Kedaulatan pangan kami tidak butuh impor, cukup rawat apa yang tumbuh sendiri.
Jangan biarkan MBG hanya jadi proyek catering beras raksasa. Ayo, jadikan MBG gerakan kemandirian pangan yang sesungguhnya. Kalau yang gratis saja tidak mau diurus karena ribet soal birokrasi, bagaimana kita mau bicara kedaulatan negara?
#ethadisaputra #makanbergizigratis #panganendemik #sagu #matoa #ketahananpangan #karbohidratlokal #dahlaniskanstyle #kedaulatanpangan #inidasarkritik















