Eddie Marzuki Nalapraya

4

Sang Jenderal Merakyat, Maestro Pencak Silat dengan Selera Humor Legendaris

Ada sosok-sosok yang kepergiannya meninggalkan jejak lebih dari sekadar catatan jabatan atau pangkat. Mereka dikenang melalui kehangatan yang pernah dipancarkan, tawa yang pernah dibagikan, dan kisah-kisah yang terus hidup melintasi generasi. Mayor Jenderal TNI (Purnawirawan) Eddie Marzuki Nalapraya adalah salah satunya. Terlahir pada tanggal yang diamanatkan untuk dikenang, 13 Mei, sebuah tanggal yang kelak secara puitis juga menandai akhir perjalanannya di dunia, beliau menapaki kehidupan yang sarat makna dan warna. Meskipun catatan formal menyebutkan kelahirannya pada 6 Juni 1931, tanggal 13 Mei tetap menjadi penanda awal sebuah kisah besar. Kepergiannya pada 13 Mei 2025, di usia 93 tahun, tak pelak menyisakan duka, namun lebih dari itu, mengundang kita untuk merayakan sebuah eksistensi yang luar biasa.

Beliau bukan sekadar perwira tinggi TNI Angkatan Darat dengan karir cemerlang, atau mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta yang turut membangun ibu kota. Jauh melampaui itu, Eddie Nalapraya adalah “Bapak Pencak Silat Dunia”, sebuah gelar yang tersemat berkat dedikasinya yang tak kenal lelah mengangkat warisan budaya bangsa ke panggung global. Namun, di balik ketegasan seragam dan visi besar seorang pemimpin, tersembunyi pribadi yang hangat, seorang nasionalis tulen yang mampu mempersatukan berbagai kalangan, dan yang tak kalah penting, pemilik selera humor yang khas dan melegenda. Kombinasi antara ketegasan seorang prajurit dan kehangatan seorang sahabat inilah yang menjadi salah satu kekuatannya, memungkinkan beliau membangun jembatan dan menorehkan pengaruh yang mendalam, baik dalam lingkup formal maupun dalam lingkaran persahabatan yang tulus.

Jejak Langkah Sang Patriot dari Tanjung Priok

Lahir sebagai Eddie Marzuki Nalapraya di Tanjung Priok, Jakarta Utara, pada 6 Juni 1931, dari ayah H. Mohammad Soetarman, seorang mekanik pelabuhan, dan ibu bernama Marsati, Eddie adalah anak sulung dari sembilan bersaudara.1 Darah Betawi mengalir dalam dirinya, memberinya karakter yang lugas dan terbuka. Masa kecilnya bersinggungan dengan periode genting bangsa. Ketika Revolusi Nasional Indonesia berkecamuk pada tahun 1947, keluarganya memutuskan pindah ke Tasikmalaya, Jawa Barat.1 Di sanalah, di tengah suasana perjuangan, benih-benih kecintaan pada bela diri dan tanah air mulai tersemai. Eddie muda bergabung dengan Detasemen Garuda Putih, sebuah langkah awal yang menempa jiwa patriotismenya. Lebih dari itu, dari sang kakek, Haji Buchori, seorang tokoh agama yang disegani, ia mulai mengenal dan mempelajari pencak silat.1 Keterlibatan dalam kancah revolusi pada usia belia ini tak diragukan lagi membentuk ketahanan mental dan semangat juangnya, menjadi fondasi karakter yang akan membawanya jauh di kemudian hari.

Di bawah bimbingan Kapten Burdah dalam Detasemen Garuda Putih, Eddie tidak hanya mengasah kemampuan bela diri, tetapi juga mengembangkan hubungan personal yang erat. Sebuah detail menarik dari masa ini adalah kedekatannya dengan keluarga Kapten Burdah, hingga ia turut mengasuh Rhoma Irama muda, yang kelak kita kenal sebagai Raja Dangdut legendaris. Kisah ini melukiskan sisi humanis dan kemampuan membina hubungan lintas usia dan latar belakang yang sudah terpancar sejak dini, sebuah kualitas yang akan sangat berguna dalam perjalanan kepemimpinannya kelak.

Panggilan jiwa untuk mengabdi pada negara membawanya meniti karier di dunia militer. Dimulai dari pangkat Bintara di Detasemen Pertahanan Markas Besar Angkatan Darat (MBAD) pada tahun 1950, perjalanan militernya terus menanjak, didukung oleh semangat belajar yang tinggi. Berbagai jenjang pendidikan militer ia tempuh, mulai dari Sekolah Bintara Administrasi di Surabaya (1951) dan Sekolah Bintara Atas di Bandung (1955), hingga Sekolah Perwira di Bandung (1957), Security Course di Jepang (1962), dan puncaknya, Command and General Staff College di Fort Leavenworth, Amerika Serikat (1972).2 Rentang masa dinasnya yang panjang, dari tahun 1946 hingga 1986, adalah bukti dedikasi dan profesionalismenya.

Dalam narasi kepahlawanan seorang tokoh, seringkali muncul kisah-kisah legendaris yang menyertai. Salah satu yang melekat pada sosok Eddie Nalapraya adalah cerita tentang “Jenderal Jago Silat Betawi yang Lumpuhkan Tentara Belanda dengan Kotoran Kerbau”.3 Meskipun detail spesifik dari insiden heroik ini tidak tercatat secara rinci dalam berbagai sumber 3, keberadaan kisah ini sendiri telah menjadi bagian tak terpisahkan dari persona beliau. Lebih dari sekadar fakta historis yang terverifikasi, cerita ini dapat dimaknai sebagai simbol keberanian, kecerdikan khas rakyat, dan kemampuan untuk memanfaatkan elemen tak terduga dalam situasi genting – sebuah ciri pejuang gerilya yang mengandalkan akal dan nyali untuk mengatasi keterbatasan. Legenda ini, terlepas dari akurasinya, menggambarkan semangat perlawanan yang kreatif dan tak konvensional, yang barangkali turut mencerminkan sebagian dari karakter pragmatis Eddie Nalapraya.

Di Puncak Pengabdian: Militer, Pemerintahan, dan Pencak Silat

Perjalanan karier militer Mayor Jenderal TNI (Purn) Eddie Marzuki Nalapraya diwarnai dengan penugasan di berbagai posisi strategis yang menunjukkan kapasitas dan kepercayaan pimpinan terhadapnya. Ia pernah menjadi anggota Pasukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Kongo pada tahun 1960, sebuah pengalaman internasional yang memperluas wawasannya. Sekembalinya ke tanah air, ia mengemban tugas sebagai Ajudan Panglima Daerah Militer (Pangdam) VI/Siliwangi (1961), sebelum kemudian dipercaya menjadi bagian dari Detasemen Kawal Pribadi Presiden pada tahun 1967. Kiprahnya di Komando Daerah Militer V/Jaya (Kodam Jaya) juga menonjol, mulai dari Wakil Asisten Operasi (Waassops) pada tahun 1974, Asisten Pengamanan Garnisun Ibu Kota (1975), hingga mencapai posisi Kepala Staf Daerah Militer (Kasdam) V/Jaya dari tahun 1979 hingga 1983.2 Selama bertugas di Kodam Jaya, Eddie Nalapraya dikenal sebagai “mata dan telinga” bagi Kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS) ABRI saat itu, L.B. Moerdani, di Jakarta, sebuah peran yang mengindikasikan tingkat kepercayaan tinggi dan keterlibatannya dalam operasi intelijen yang krusial. Puncak karier militernya ditandai dengan jabatan Asisten Teritorial Pertahanan dan Keamanan (Aster Hankam) pada periode 1983-1984, sebelum akhirnya pensiun dengan pangkat Mayor Jenderal TNI. Kemampuan manajerial, strategis, dan interpersonal yang terasah selama puluhan tahun di militer ini menjadi bekal berharga untuk pengabdiannya di ranah sipil.

Pada tahun 1984, Eddie Marzuki Nalapraya memasuki babak baru pengabdian sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta, mendampingi Gubernur R. Soeprapto hingga tahun 1987. Dengan fokus pada bidang pemerintahan, masa jabatannya menjadi bukti transisi yang mulus dari peran militer ke pelayanan publik di jantung ibu kota. Tantangan yang dihadapinya tentu berbeda, menuntut pendekatan kepemimpinan yang lebih akomodatif dan responsif terhadap dinamika masyarakat sipil.

Namun, jika ada satu bidang yang menjadi mahkota pengabdian Eddie Nalapraya, itu adalah dedikasinya yang luar biasa terhadap pencak silat. Keterlibatannya dimulai ketika ia diminta untuk memimpin Ikatan Pencak Silat Seluruh Indonesia (IPSI) cabang Jakarta pada Desember 1978.5 Saat itu, pencak silat menghadapi berbagai tantangan: keterbatasan dana, minimnya minat publik dibandingkan seni bela diri asing, serta kurangnya harmoni antar perguruan silat.5 Dengan kepemimpinan yang visioner, ia menerapkan strategi jitu: mendorong dialog antar guru silat untuk membangun persatuan, mengorganisir kejuaraan secara rutin untuk meningkatkan standar teknis dan menarik perhatian, serta mempromosikan pencak silat sebagai bagian integral dari identitas dan pembangunan karakter bangsa.5

Keberhasilannya di tingkat DKI Jakarta membawanya ke panggung nasional. Ia menjabat sebagai Ketua Umum Pengurus Besar (PB) IPSI dari tahun 1981 hingga 2003.5 Di bawah kepemimpinannya, pencak silat berhasil dimasukkan sebagai cabang olahraga resmi dalam Pekan Olahraga Nasional (PON) dan SEA Games.5 Pencapaian ini bukan hanya soal prestasi olahraga, tetapi juga pengakuan atas nilai dan potensi pencak silat. Visinya tidak berhenti di batas negara. Eddie Nalapraya adalah salah satu tokoh kunci di balik pendirian Persekutuan Pencak Silat Antarbangsa (PERSILAT) pada Maret 1980, bersama perwakilan dari Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam, di mana ia didapuk sebagai Ketua Presidium pertama.5

Strategi internasionalisasi pencak silat yang digalangnya sungguh mengesankan. Ia menggagas Kejuaraan Dunia Pencak Silat, yang pertama kali diadakan di Jakarta pada tahun 1982 dengan nama Prasetya Mulya I.5 Kejuaraan dunia ketiga bahkan sukses diselenggarakan di Wina, Austria, pada tahun 1986 6, menandakan pesatnya perkembangan pencak silat di Eropa. Ia tak kenal lelah membangun jaringan, bekerja sama dengan Kementerian Luar Negeri untuk menjadikan pencak silat sebagai bagian dari diplomasi budaya Indonesia.5 Upaya ini membuahkan hasil dengan didirikannya komisi-komisi pencak silat di berbagai negara. Puncaknya, pada tahun 2008, ia menggagas kejuaraan pencak silat di Eropa, yang membuatnya dijuluki ‘Bapak Pencak Silat Eropa’ di Swiss.6 Perjuangan panjang dan tanpa henti ini memberikan kontribusi signifikan terhadap pengakuan pencak silat sebagai Warisan Budaya Tak Benda oleh UNESCO pada tahun 2019.5 Pendirian Padepokan Pencak Silat di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) sebagai pusat pelatihan, kompetisi, dan pertukaran budaya juga merupakan bukti visi jangka panjangnya, memastikan keberlanjutan dan regenerasi seni bela diri kebanggaan bangsa.

Di Balik Seragam: Pribadi Humoris dengan Kisah Tak Terlupakan

Di balik sosok tegas seorang Mayor Jenderal dan keseriusan seorang Bapak Pencak Silat Dunia, Eddie Marzuki Nalapraya menyimpan pribadi yang hangat, penuh canda, dan memiliki selera humor yang kerap mengundang senyum bahkan tawa. Salah satu anekdot yang paling dikenang dan menunjukkan sisi uniknya ini terungkap dalam memoar wartawan senior Panda Nababan.1

Kisah ini bermula saat keduanya bertemu di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, dalam suasana duka pemakaman tokoh nasional Ali Moertopo. Di tengah keseriusan momen tersebut, Eddie Nalapraya dengan gayanya yang ceplas-ceplos berujar kepada Panda Nababan, “Panda, kau kan wartawan. Kau tulis kalau aku meninggal dunia, aku tak mau dimakamkan di sini.” Tentu saja Panda Nababan terkejut dan bertanya alasannya. Jawaban Eddie Nalapraya sungguh di luar dugaan dan menggelitik, “Aku tidak bisa tidur nyenyak. Nanti aku diperintah sana sini oleh para jenderal itu.” Ia melanjutkan dengan nada polos, “Tidak, mereka ini walau sudah meninggal masih suka perintah-perintah,” sambil menunjuk ke arah makam beberapa jenderal.1

Panda Nababan sontak tertawa mendengar jawaban tersebut, tak menyangka seorang jenderal bintang dua memiliki selera humor setinggi itu, bahkan ketika berbicara tentang peristirahatan terakhirnya. Eddie Nalapraya kemudian menambahkan bahwa ia lebih memilih dimakamkan di wilayah Jakarta Utara, tanah kelahirannya di Tanjung Priok.1 Anekdot ini bukan hanya menunjukkan sisi humorisnya, tetapi juga kerendahan hati dan kedekatannya dengan identitas asalnya. Humor semacam ini bisa jadi merupakan caranya mendekatkan diri, mencairkan suasana, atau bahkan menghadapi isu-isu berat dengan perspektif yang lebih ringan, sebuah cerminan kecerdasan emosional yang matang.

Sentuhan personal dan humor juga mewarnai kisah lain dalam hidupnya. Siapa sangka, nama “Eddie” yang begitu identik dengannya ternyata memiliki cerita tersendiri. Saat muda, ketika mendekati Anne Marie, seorang gadis Indo Jerman-Jawa yang kelak menjadi istrinya, ia merasa nama panggilannya “Juki” kurang terdengar menarik. Maka, ia pun menyematkan sendiri nama “Eddie”. “Biar keren, saya pakai nama Eddie. ‘Kan nggak enak dipanggil si Juki,” candanya suatu ketika, mengenang masa itu. Kisah ini melukiskan sisi romantis sekaligus jenaka dari seorang Eddie muda.

Kedekatannya dengan lingkungan dan orang-orang di sekitarnya juga tercermin dari hubungannya yang hangat dengan keluarga Kapten Burdah, mentornya di Detasemen Garuda Putih, hingga perannya dalam mengasuh Rhoma Irama muda. Sifatnya yang dikenal sebagai “pemersatu” tentu tak lepas dari kemampuannya bergaul dan membangun koneksi personal yang tulus.

Dalam kehidupan pribadinya, Eddie Marzuki Nalapraya menikah dengan Anne Marie, yang memberinya lima orang anak. Setelah kepergian Anne Marie pada tahun 1963, ia menemukan pendamping hidup baru dalam diri Merry, seorang wanita berdarah Indo-Prancis-Bugis, yang kemudian dikenal sebagai Mariam setelah menunaikan ibadah haji pada tahun 1976.1 Keluarga menjadi salah satu pilar dalam hidupnya, dengan kehadiran menantu seperti Agus Lasmono Sudwikatmono dan cucu Mazaya Amania 1, yang melengkapi potret utuh dirinya sebagai seorang suami, ayah, dan kakek. Keinginan personal seperti memilih nama “Eddie” demi cinta atau preferensi tempat pemakaman menunjukkan bahwa di balik semua gelar dan jabatan, ia adalah individu dengan sentimen dan identitas personal yang kuat, yang tetap ia pegang teguh. Konsistensi karakter yang hangat dan humoris, yang tampak dari berbagai fase kehidupannya, menegaskan bahwa sifat-sifat tersebut adalah bagian otentik dari dirinya.

Warisan Abadi Sang Jenderal

Pengabdian panjang Mayjen TNI (Purn) Eddie Marzuki Nalapraya kepada bangsa dan negara tidak hanya terukir dalam kenangan, tetapi juga diakui secara formal melalui berbagai tanda jasa dan penghargaan. Beliau adalah penerima Bintang Mahaputera Pratama yang dianugerahkan pada 10 Agustus 2010, sebuah pengakuan atas jasa-jasanya yang luar biasa bagi nusa dan bangsa.2 Selain itu, dadanya juga tersemat Bintang Gerilya, Bintang Kartika Eka Paksi Nararya, berbagai Satyalancana kesetiaan dan perjuangan seperti Satyalancana Kesetiaan 24 Tahun, Satyalancana Perang Kemerdekaan I dan II, serta penghargaan dari negara sahabat seperti Commander of the Most Noble Order of the Crown of Thailand (1970) dan Knight Grand Cross of the Order of Orange-Nassau dari Belanda (1970).2 Semua ini adalah bukti konkret dedikasi dan pengorbanannya.

Lebih dari sekadar bintang jasa, warisan sejati Eddie Nalapraya terpatri dalam bagaimana ia dikenang. Presiden Prabowo Subianto, yang juga merupakan penerus kepemimpinannya di PB IPSI, mengenang almarhum dengan penuh hormat sebagai seorang “patriot sejati,” “pejuang kemerdekaan,” dan “pemimpin dengan jiwa pejuang”. Presiden Prabowo secara khusus menyoroti peran besar Eddie Nalapraya dalam membina dan mengembangkan pencak silat di Indonesia dan dunia, serta menyampaikan belasungkawa mendalam atas nama pemerintah, seluruh masyarakat pencak silat, dan pribadi. Sebutan “patriot sejati” ini menjadi benang merah yang merangkum seluruh perjalanan hidupnya, mulai dari keterlibatannya dalam perang kemerdekaan, pengabdian di militer, hingga perjuangannya mengangkat harkat budaya bangsa.

Penghormatan juga datang dari berbagai kalangan. Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta turut mengakui jasa-jasanya bagi ibu kota. Ketua Umum Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Pusat, Letjen TNI (Purn) Marciano Norman, mengajak seluruh insan olahraga untuk melanjutkan perjuangan Eddie Nalapraya dalam mengembangkan pencak silat hingga ke level dunia. Tokoh seperti Fadli Zon pun tak ragu menyebutnya sebagai “Bapak Pencak Silat Dunia”. Sosoknya dikenal luas sebagai figur “pemersatu dan nasionalis”, karakter yang sangat krusial dalam memimpin organisasi yang beragam dan memajukan agenda bangsa.

Warisan Eddie Nalapraya bersifat ganda: struktural dan kultural. Secara struktural, ia berhasil membangun dan memperkuat organisasi IPSI dan PERSILAT, serta mengantarkan pencak silat menjadi cabang olahraga yang dipertandingkan di ajang nasional dan internasional.5 Secara kultural, yang tak kalah penting, ia berhasil menanamkan kebanggaan terhadap pencak silat sebagai identitas bangsa, yang puncaknya adalah pengakuan dari UNESCO. Ini adalah warisan yang hidup, yang akan terus dirasakan manfaatnya oleh generasi mendatang. Seperti yang diungkapkan, warisan perjuangannya akan terus hidup dalam setiap jurus yang dipelajari dan diajarkan oleh generasi muda di seluruh penjuru dunia.

Pada akhirnya, makna hidup seorang Eddie Marzuki Nalapraya terangkum dalam perpaduan harmonis antara pengabdian tanpa pamrih kepada negara, kecintaan yang mendalam pada budaya leluhur, khususnya pencak silat, dan kepribadian yang hangat, humoris, serta menyentuh hati banyak orang. Kisah-kisah tentang selera humornya, seperti candaan tentang pemakamannya atau asal-usul nama “Eddie”, bukan sekadar anekdot penghibur, melainkan bagian penting dari warisannya. Hal ini menunjukkan bahwa seorang pemimpin besar bisa tetap membumi, mudah didekati, dan meninggalkan kenangan yang membuat orang tersenyum. Ini adalah inspirasi bahwa keseriusan dalam pengabdian dapat berjalan beriringan dengan keceriaan dan kemanusiaan. Warisan sejati Eddie Marzuki Nalapraya tidak hanya terukir dalam monumen atau catatan sejarah, tetapi juga dalam tawa yang pernah ia ciptakan, cerita yang terus dikisahkan, dan semangat juang yang terus menyala di hati mereka yang mengenang dan melanjutkan cita-citanya.

Daftar Pustaka

  1. Eddie Marzuki Nalapraya – Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, accessed May 14, 2025, https://id.wikipedia.org/wiki/Eddie_Marzuki_Nalapraya
  2. Eddie Marzuki Nalapraya | S1 | Terakreditasi | Universitas STEKOM …, accessed May 14, 2025, https://p2k.stekom.ac.id/ensiklopedia/Eddie_Marzuki_Nalapraya
  3. Berita Profil Eddie Marzuki Nalapraya Terkini Dan Terbaru Hari Ini – Okezone.com -, accessed May 14, 2025, https://www.okezone.com/tag/profil-eddie-marzuki-nalapraya
  4. Profil Eddie Marzuki Nalapraya, Jenderal Jago Silat Betawi yang …, accessed May 14, 2025, https://nasional.okezone.com/read/2025/05/13/337/3138546/profil-eddie-marzuki-nalapraya-jenderal-jago-silat-betawi-yang-lumpuhkan-tentara-belanda-dengan-kotoran-kerbau
  5. Sosok Eddie Marzuki Nalapraya, Bapak Pencak Silat Dunia dan …, accessed May 14, 2025, https://lifestyle.kontan.co.id/news/sosok-eddie-marzuki-nalapraya-bapak-pencak-silat-dunia-dan-pejuang-budaya
  6. Eddie Nalapraya: Bapak Pencak Silat Dunia, Perjuangan Panjang …, accessed May 14, 2025, https://www.bola.com/ragam/read/6021470/eddie-nalapraya-bapak-pencak-silat-dunia-perjuangan-panjang-menuju-pengakuan-global
  7. Kisah Lucu Eddie Nalapraya Ogah Dimakamkan di TMP Kalibata …, accessed May 14, 2025, https://www.liputan6.com/news/read/6021323/kisah-lucu-eddie-nalapraya-ogah-dimakamkan-di-tmp-kalibata-takut-diperintah-jenderal-yang-sudah-wafat