Oleh E.T. Hadi Saputra. Praktisi Reformasi Hukum dan Konsultan Bisnis
Dalam lanskap krisis ekologi global yang kian mendesak, Indonesia, dengan kekayaan alamnya yang melimpah, menghadapi tantangan serius. Deforestasi, polusi, dan dampak perubahan iklim bukan lagi ancaman hipotetis, melainkan realitas yang mengikis fondasi kehidupan. Sebagai seorang yang berpegang teguh pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), saya meyakini bahwa reformasi hukum nasional, yang berakar pada nilai-nilai luhur bangsa, adalah keniscayaan mutlak. Kita memerlukan lebih dari sekadar regulasi parsial; kita membutuhkan sebuah “Konstitusi Hijau” sebagai landasan filosofis dan operasional.
Pancasila: Kompas Etika Lingkungan
Pancasila, dengan lima silanya, adalah kompas moral tak tergantikan dalam menavigasi tantangan lingkungan. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa mengajarkan kita tentang amanah sebagai khalifah di muka bumi, memikul tanggung jawab spiritual untuk menjaga ciptaan-Nya. Alam bukan sekadar objek eksploitasi, melainkan entitas yang harus dihormati dan dilestarikan sebagai manifestasi keagungan Ilahi.
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab menggarisbawahi hak asasi setiap individu untuk hidup di lingkungan yang baik dan sehat. Hak ini bersifat lintas generasi, menuntut keadilan bagi generasi kini dan mendatang. Sila Persatuan Indonesia mengingatkan bahwa keanekaragaman hayati adalah kekayaan kolektif yang mempersatukan, menuntut kolaborasi lintas sektor untuk perlindungannya.
Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan menekankan pentingnya demokrasi lingkungan. Partisipasi publik, termasuk kearifan lokal masyarakat adat, menjadi kunci dalam pengambilan keputusan yang berdampak pada lingkungan. Akhirnya, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia menuntut distribusi manfaat dan beban lingkungan secara adil, mengatasi ketidakadilan yang kerap menimpa kelompok rentan akibat kerusakan lingkungan. Pancasila, dengan demikian, adalah fondasi etika lingkungan yang kokoh bagi bangsa ini.
UUD 1945: Amanat Konstitusional yang Perlu Diperkuat
UUD 1945 telah memberikan jejak penting bagi perlindungan lingkungan. Pasal 28H ayat (1) secara tegas menyatakan, “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” Ini adalah hak konstitusional fundamental yang harus diwujudkan oleh negara.
Lebih lanjut, Pasal 33 ayat (3) dan (4) mengenai pengelolaan sumber daya alam yang “dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” harus ditafsirkan dengan prinsip keberlanjutan dan berwawasan lingkungan. Kemakmuran yang dimaksud bukanlah kemakmuran sesaat yang mengorbankan masa depan, melainkan kemakmuran yang lestari dan adil.
Namun, interpretasi yang dominan saat ini masih cenderung antropocentris, memandang lingkungan semata-mata sebagai objek pemanfaatan bagi manusia, alih-alih mengakui hak intrinsik alam itu sendiri. Ini berbeda dengan pendekatan ekosentris yang mulai diadopsi di beberapa negara, seperti Ekuador, yang secara eksplisit mengakui “Hak Alam” (Rights of Nature). Kesenjangan antara amanat konstitusi dan realitas kerusakan lingkungan ini mengindikasikan bahwa UUD 1945, meskipun progresif dalam aspek Hak Asasi Manusia, belum sepenuhnya matang sebagai “Konstitusi Hijau” yang sejati.
Tantangan Implementasi dan Dampak Regulasi Terkini
Meski UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) telah berupaya memperkuat tata kelola lingkungan, tantangan implementasi masih besar. Kelemahan penegakan hukum, konflik kepentingan antara ekonomi dan lingkungan, serta keterbatasan partisipasi publik kerap menjadi penghambat.
Terlebih lagi, kehadiran Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) dan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 (PP 22/2021) telah menimbulkan kekhawatiran serius. Sentralisasi kewenangan lingkungan ke Pemerintah Pusat, pelemahan posisi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dari prasyarat menjadi hanya pertimbangan, serta pembatasan partisipasi publik hanya pada pihak “terdampak langsung” berpotensi melemahkan perlindungan lingkungan. Pergeseran ini mengindikasikan paradigma hukum lingkungan dari preventif-partisipatif menjadi fasilitatif-ekonomis, di mana efisiensi perizinan dan investasi lebih diutamakan.
Sebagai contoh, laju deforestasi yang masih tinggi, krisis kualitas udara di kota-kota besar, dan banyaknya lubang tambang yang belum direklamasi menunjukkan bahwa regulasi yang ada belum cukup efektif melindungi lingkungan. Bahkan, perubahan status abu batu bara dari kategori limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) dalam PP 22/2021 adalah satu dari sekian banyak contoh yang mengkhawatirkan.
Jalan ke Depan: Reformasi Hukum Menuju Keadilan Ekologis
Untuk mengatasi tantangan ini, reformasi hukum yang komprehensif dan mendalam adalah keniscayaan.
Pertama, Amandemen UUD 1945 perlu dipertimbangkan untuk secara eksplisit mengakui “Hak Alam” dan memperkuat prinsip kehati-hatian (precautionary principle) sebagai dasar konstitusional. Ini akan memberikan pijakan hukum yang lebih kokoh bagi tindakan pencegahan tanpa harus menunggu bukti kerusakan aktual.
Kedua, Revisi UU Cipta Kerja dan PP 22/2021 mutlak diperlukan. Peran AMDAL harus dikembalikan sebagai prasyarat mutlak yang mengikat. Partisipasi publik harus diperluas, melibatkan semua pihak yang berpotensi terdampak dan organisasi lingkungan. Prinsip strict liability (tanggung jawab mutlak) dalam kasus pencemaran harus diperkuat untuk memberikan efek jera, dan jaminan finansial untuk pemulihan lingkungan pascatambang harus diatur secara jelas dan efektif.
Ketiga, Penguatan Penegakan Hukum adalah kunci. Ini mencakup peningkatan kapasitas aparat penegak hukum, transparansi, dan akuntabilitas. Inovasi seperti sertifikasi hakim lingkungan dan pemanfaatan teknologi dalam pengawasan juga penting.
Keempat, Peran Sektor Bisnis dan Masyarakat harus dioptimalkan. Mendorong investasi hijau dan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan (TJSL/CSR) yang substansial, bukan sekadar formalitas. Pemberdayaan masyarakat adat dan kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya alam juga fundamental.
Menuju Indonesia Lestari dan Berkeadilan
Mewujudkan Konstitusi Hijau adalah agenda besar yang membutuhkan komitmen kolektif dari seluruh elemen bangsa. Ini adalah panggilan untuk meninjau kembali fondasi hukum kita, memastikan bahwa ia mampu melindungi hak-hak lingkungan, mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan, dan menegakkan keadilan ekologis.
Sebagai praktisi hukum dan bisnis, saya percaya bahwa sinergi antara nilai-nilai luhur Pancasila, amanat UUD 1945, dan inovasi dalam praktik hukum serta bisnis akan membawa Indonesia menuju masa depan yang lestari dan berkeadilan. Konstitusi Hijau bukan sekadar impian, melainkan peta jalan menuju Indonesia yang lebih baik, bagi kita dan generasi yang akan datang.