Presiden Jokowi Tersenyum

3

Oleh E T Hadi Saputra

Bagian 1: Senyuman Pagi di Antara Riuh Harapan dan Kenyataan Pahit

Pagi kembali menyapa negeri dengan cara yang sama: layar televisi menyuguhkan wajah Presiden Jokowi, lengkap dengan senyuman khasnya. Senyuman yang, menurut para juru poles citra, mampu meneduhkan hati dan membangkitkan optimisme.1 Seolah-olah lengkungan bibir itu adalah panasea untuk segala derita bangsa, komoditas visual yang tak pernah mengenal kata defisit, selalu tersedia, selalu tersaji, entah tulus entah sekadar kosmetik politik yang lihai.3

Namun, kamera takdir seringkali lebih jujur dari lensa para pemburu berita. Dari layar kaca yang menampilkan senyuman penuh harap itu, cerita beralih ke sudut-sudut lain ibu pertiwi, tempat rakyat jelata merajut hari. Di sebuah pasar yang beceknya sudah menjadi bagian dari identitas, Mpok Minah, pedagang gado-gado, sedang menyeka peluh di keningnya. Jemarinya yang keriput menghitung lembaran uang lecek dan koin receh, hasil jerih payahnya sejak subuh. Di sudut warungnya, televisi tabung tua masih setia menyiarkan senyuman sang Presiden. “Senyum Bapak Presiden mah adem nian, kayak ubin masjid baru dipel,” gumam Mpok Minah kepada pelanggan yang sedang menunggu pesanan. “Cuma ya itu, harga cabe, bawang, tahu, tempe, kenapa ya makin hari makin pedes harganya, bikin jidat saya yang keriput ini ikut-ikutan senyum kecut,” lanjutnya, menyuarakan beban hidup yang kian menghimpit daya beli masyarakat kebanyakan.5

Bergeser ke pedesaan, di mana hamparan sawah seharusnya menjadi lumbung kemakmuran, Pak Karyo menatap nanar petak sawahnya yang mulai menguning sebelum waktunya, bukan karena padi siap panen, melainkan karena kekeringan yang meranggas. Pupuk subsidi, yang katanya untuk menyejahterakan petani, kini menjadi barang langka dan mahal, seperti mencari jarum di tumpukan jerami birokrasi. Dari radio butut yang menemaninya di gubuk sawah, terdengar suara optimis Presiden, diselingi deskripsi senyumannya yang menawan oleh sang penyiar. Pak Karyo menghela napas panjang, asap rokok kreteknya mengepul getir. “Senyumnya Bapak Presiden itu subur betul, ya, Pak Penyiar. Sayang, nggak bisa buat nyiram sawah saya yang mau mati suri ini,” batinnya. “Pupuk oh pupuk, katanya buat rakyat kecil macam saya, tapi kok ya yang dapat senyum manis dan subsidi malah yang mau beli mobil listrik mewah itu,” keluhnya dalam hati, sebuah ironi yang juga disuarakan wakil rakyat di gedung parlemen yang megah, yang mempertanyakan prioritas subsidi untuk kendaraan pribadi kaum berduit ketimbang kebutuhan mendesak para petani.7

Di sudut lain, di sebuah kota yang gemerlapnya hanya dinikmati segelintir orang, Budi, pemuda lulusan Sekolah Menengah Kejuruan, baru saja merasakan pahitnya pemutusan hubungan kerja. Dengan layar ponsel yang retak seribu, ia menggulir tanpa henti daftar lowongan kerja yang syaratnya seringkali melampaui langit ketujuh. Tiba-tiba, sebuah iklan layanan masyarakat menyela pencariannya: Presiden Jokowi tersenyum lebar, di bawahnya terpampang slogan sakti, “Kerja! Kerja! Kerja!”. Budi tersenyum masam, senyum yang lebih mirip ringisan. “Kerja, kerja, kerja… cari kerjanya ini lho, Pak, yang susah minta ampun. Bapak sih enak, senyum saja sudah dihitung kerja,” desisnya, merasakan betul bagaimana slogan penyemangat itu menjadi semacam cemoohan ketika realitas lapangan kerja begitu kejam, sebuah sentimen yang pernah diteriakkan para mahasiswa kritis.6 Senyuman yang terpampang di mana-mana itu, bagi Budi dan jutaan pencari kerja lainnya, seolah menjadi pengingat akan janji yang jauh panggang dari api.

Senyuman itu, yang begitu sering diproduksi dan direproduksi, menjadi semacam entitas tersendiri. Bagi sebagian, mungkin ia adalah simbol harapan. Namun, bagi mereka yang setiap hari bergelut dengan kenaikan harga, kelangkaan pupuk, dan sulitnya mencari sesuap nasi, senyuman itu menjelma menjadi pertanyaan besar, bahkan sebuah ironi. Ada jurang menganga antara citra yang dipoles sedemikian rupa dengan realitas pahit yang mereka jalani. Narasi tunggal keberhasilan dan optimisme yang disajikan penguasa, yang seringkali divisualisasikan dengan senyuman itu, terasa begitu jauh dari fragmentasi pengalaman getir rakyat jelata.

Bagian 2: Senyuman Megah di Atas Proyek Mercusuar dan Perut yang Kian Lapar

Layar kaca kembali menyuguhkan pemandangan spektakuler. Presiden Jokowi, dengan senyum bangga yang tak dapat disembunyikan, meresmikan sebuah proyek infrastruktur raksasa. Entah itu ibu kota baru yang digadang-gadang sebagai warisan peradaban, atau jalan tol yang membelah gunung dan lembah.1 Media massa, serentak seperti paduan suara, menyoroti kemegahan proyek tersebut, mengulang-ulang narasi tentang visi masa depan yang gemilang, tentang Indonesia yang melesat menjadi negara adidaya. Senyuman Presiden menjadi centerpiece, simbol dari sebuah era pembangunan yang katanya Indonesia-sentris.

Namun, di sebuah warung kopi sederhana di pinggiran kota, tempat asap rokok dan aroma kopi robusta berbaur dengan keluh kesah sehari-hari, pemandangan itu memicu percakapan yang berbeda. Beberapa bapak-bapak, pelanggan setia warung, menonton berita tersebut dengan ekspresi yang sulit diartikan.

“Itu lihat, Bapak Presiden senyumnya lebar bener kayak jalan tol baru,” celetuk Bang Udin, sopir angkot yang rambutnya mulai memutih di pelipis. “Proyeknya gede, ya? Kayak mimpi di siang bolong. Tapi jalanan buat angkot saya kok ya makin banyak lubang, setoran makin seret. Mimpi kita mah sederhana, Pak, asal dapur ngebul, anak bisa sekolah sampai tamat,” lanjutnya, menyuarakan kegelisahan kaum urban yang merasa pembangunan infrastruktur besar belum tentu menyentuh kebutuhan paling mendasar mereka.5

Pak RT, yang duduk di sebelahnya sambil menyeruput kopi hitam, menimpali dengan suara yang sedikit direndahkan, seolah takut ada telinga yang salah dengar. “Sst, jangan kencang-kencang, Bang. Nanti dibilang nggak mendukung program pemerintah, anti pembangunan. Itu IKN katanya buat kita semua, biar bangga jadi bangsa besar,” ujarnya, lalu terkekeh pelan. “Utangnya juga nanti buat kita semua yang ikut bayar, hehe. Semoga saja nanti kalau sudah jadi, kita-kita ini masih kebagian senyumnya, bukan cuma tagihannya,” sindirnya, merujuk pada kritik tajam mengenai prioritas pembangunan IKN dan beban utang negara yang terus membengkak.7 Ada semacam kesadaran kolektif, meski tak terucap lugas, bahwa kemegahan yang terpampang di layar itu mungkin harus dibayar mahal oleh generasi kini dan mendatang.

Seorang ibu muda, yang kebetulan sedang membeli gorengan di warung itu, ikut nimbrung. Wajahnya tampak lelah. “Anak saya kemarin batuk-batuk nggak sembuh-sembuh, Pak. Kata dokter sih, mungkin gara-gara debu proyek di ujung kampung itu. Katanya sih mau dibangun pabrik baru, biar banyak lapangan kerja. Tapi ya itu, Pak Presiden senyumnya manis di TV, anak saya nangisnya di rumah karena sesak napas,” keluhnya. Sebuah testimoni kecil yang menyiratkan bagaimana “kemajuan” versi pemerintah seringkali datang dengan ongkos sosial dan lingkungan yang harus ditanggung rakyat kecil, mereka yang paling rentan terhadap dampak pembangunan yang kurang memperhatikan aspek kemanusiaan.6

Fokus pada pembangunan fisik yang begitu masif, yang seringkali dirayakan dengan senyuman penuh kebanggaan, seolah menjadi ideologi tersendiri. “Pembangunanisme” yang mengukur kemajuan dari kilometer jalan tol, megawatt listrik, atau megahnya gedung-gedung pencakar langit. Namun, di balik narasi kemajuan itu, terselip cerita-cerita tentang ketimpangan yang tak kunjung teratasi, tentang kebutuhan dasar yang terabaikan, tentang mereka yang tergusur atau termarjinalkan atas nama pembangunan.9 Senyuman Presiden saat meresmikan proyek-proyek mercusuar itu menjadi semakin ironis ketika disandingkan dengan wajah-wajah lelah mereka yang belum merasakan buahnya, atau bahkan menjadi korban dari prosesnya. Dan di balik senyuman optimisme itu, tersembunyi pula angka-angka utang yang terus merangkak naik, sebuah warisan yang mungkin akan membuat generasi penerus sulit untuk tersenyum selebar senyuman hari ini.5

Bagian 3: Senyuman Demokrasi yang (Katanya) Terbuka Lebar

Di suatu kesempatan, mungkin setelah gelombang kritik kembali menghantam istana, Presiden Jokowi tampil di hadapan publik. Dengan senyum ramah yang telah menjadi ciri khasnya, beliau menyatakan bahwa pemerintah sangat terbuka terhadap kritik. “Kritik itu vitamin,” ujarnya, sebuah frasa yang mungkin terdengar bijak dan menyejukkan, persis seperti responsnya dulu ketika para mahasiswa menjulukinya “Raja Janji Manis”.8 Senyuman itu seolah menjadi jaminan bahwa ruang demokrasi di negeri ini terbuka selebar-lebarnya, mempersilakan siapa saja untuk menyuarakan pendapat.

Namun, di sebuah grup WhatsApp warga kampung yang ramai dengan obrolan ngalor-ngidul, atau dalam bisik-bisik di pos ronda saat malam mulai larut, narasi “keterbukaan” itu disambut dengan skeptisisme yang kental, bahkan sinisme.

“Dengar itu tadi di berita? Bapak Presiden senyum lagi, bilang kritik itu vitamin,” kata Kang Asep, seorang aktivis kampung yang dikenal vokal, memulai diskusi di grup WA. “Vitamin buat siapa, ya? Kemarin si fulan, anak muda di kampung sebelah, posting di medsos nyindir kebijakan anu, eh besoknya akunnya lenyap tak berbekas. Ada juga yang sampai ‘diurus’. Jangan-jangan vitaminnya dosis tinggi, langsung bikin ‘sehat’ permanen alias bungkam,” lanjutnya, sebuah sindiran tajam terhadap realitas penyempitan ruang kebebasan berpendapat dan ancaman UU ITE yang membayangi siapa saja yang berani bersuara kritis.6

Mbah Tejo, sesepuh kampung yang telah kenyang makan asam garam kehidupan, menimpali dengan nada bijak namun penuh kehati-hatian. “Hehe, senyumnya Bapak Presiden itu memang seperti pintu gerbang istana, Nak. Kelihatannya terbuka lebar, gagah perkasa. Tapi coba saja kamu nekat masuk bawa barang yang nggak dia suka, atau teriak-teriak di depannya, tahu-tahu kejepit, atau malah diseret keluar sama penjaganya,” ujarnya, menggunakan metafora sederhana untuk menggambarkan ilusi keterbukaan yang dirasakan banyak orang. Ada semacam pemahaman bahwa di balik senyuman itu, ada batas-batas tak terlihat yang jika dilanggar akan berakibat fatal.13

Seorang mahasiswa yang sedang menjalani Kuliah Kerja Nyata (KKN) di desa itu, yang kebetulan ikut nimbrung di pos ronda, nyeletuk pelan. “Di kampus kami, BEM pernah bikin poster ‘Jokowi: The King of Lip Service’, Pak. Presidennya sih waktu itu senyum saja nanggapinnya, bilang itu ekspresi mahasiswa. Tapi habis itu, ada kabar burung dosen pembina kami ‘diingatkan’ dari atas buat ‘nertibkan’ mahasiswanya. Jadi, senyumnya beliau itu kayak cuaca, Mas, bisa cerah benderang, tapi bisa juga tiba-tiba mendung bawa angin ribut,” ceritanya, merujuk pada pengalaman pahit bagaimana kritik, meski ditanggapi dengan senyuman di permukaan, seringkali diikuti dengan tekanan di belakang layar.8

Paradoks kebebasan berpendapat ini menjadi semakin nyata. Di satu sisi, ada klaim keterbukaan yang selalu diiringi senyuman. Di sisi lain, ada rasa takut yang merayap, ada UU ITE yang siap menjerat, ada KUHP baru dengan pasal-pasal karet yang bisa menafsirkan kritik sebagai penghinaan.12 Senyuman itu, dalam konteks ini, menjadi sangat ambigu. Apakah itu senyuman tulus seorang demokrat, ataukah senyuman yang menutupi ketidaksabaran terhadap suara-suara sumbang? Rakyat pun akhirnya mengembangkan “kearifan lokal” dalam mengkritik: menggunakan bahasa sindiran, perumpamaan, atau humor getir, sebuah seni untuk tetap bersuara tanpa harus berhadapan langsung dengan “vitamin” dosis tinggi. Janji-janji yang tak kunjung terealisasi, yang dulu mungkin hanya dianggap sebagai “lip service”, kini menjadi pola yang terbaca, membuat senyuman yang menyertainya kehilangan makna, kecuali sebagai penanda sebuah sandiwara politik.

Bagian 4: Senyuman Keluarga Besar di Panggung Kuasa

Berita kembali menghiasi layar gawai dan koran-koran pagi. Kali ini, bukan tentang proyek infrastruktur atau pernyataan kebijakan, melainkan tentang anggota keluarga Presiden yang satu per satu mulai menapaki panggung politik. Ada yang menjadi kepala daerah, ada yang dicalonkan untuk jabatan strategis, ada pula yang sekadar mendapat sorotan media karena kedekatannya dengan lingkaran kekuasaan. Dalam berbagai kesempatan, Presiden terlihat tersenyum hangat di samping mereka, senyuman seorang ayah atau kakek yang bangga. Narasi media pun tak ketinggalan memolesnya dengan istilah-istilah manis: “regenerasi kepemimpinan”, “darah muda penuh potensi”, atau “melanjutkan pengabdian keluarga”.14

Di sebuah acara hajatan di kampung, di tengah riuhnya suara musik dangdut dan aroma masakan yang menggoda, ibu-ibu yang sedang sibuk menyiapkan hidangan tak luput dari perbincangan hangat ini.

“Subhanallah, hebat ya, keluarganya Bapak Presiden ini bibit unggul semua, Bu,” celetuk Bu Lurah, istri kepala desa, dengan nada kagum yang sedikit dibuat-buat, mungkin agar terdengar sejalan dengan “atas”. “Anaknya, menantunya, bahkan dengar-dengar keponakannya juga, semua berbakat jadi pemimpin. Senyumnya Bapak Presiden pasti bangga sekali melihatnya. Semoga nanti kalau sudah jadi pejabat, senyumnya juga tetap manis buat kita-kita rakyat kecil ini, ya,” lanjutnya, sebuah harapan yang terselip di antara pujian yang normatif.15

Yu Parmi, penjual jamu gendong yang kebetulan ikut membantu di dapur hajatan, nyeletuk pelan, nyaris berbisik kepada teman di sebelahnya. “Bibit unggul apa bibit yang disiram pupuk khusus sama dikasih greenhouse pribadi, Bu? Kita mah boro-boro mau jadi lurah, anak mau masuk SMP negeri saja saingannya beratnya minta ampun, nggak ada senyuman sakti dari atas yang bisa bantu,” sindirnya. Sebuah kontras yang telak antara kemudahan akses bagi mereka yang berada di lingkaran emas kekuasaan dengan perjuangan berat yang harus dihadapi rakyat biasa untuk sekadar mendapatkan hak-hak dasar.14

Seorang bapak-bapak, yang sedang menikmati kopi dan penganan, ikut nimbrung dalam obrolan itu. “Katanya sih ini negara demokrasi, semua warga negara punya hak yang sama untuk dipilih dan memilih. Tapi kok ya rasanya haknya keluarga pejabat itu lebih bersinar, lebih terang jalannya ya? Senyumnya Bapak Presiden itu kayak lampu sorot panggung, Bu, cuma nyorot yang dekat-dekat sama dia saja. Yang jauh mah tetap gelap-gelapan,” ujarnya, sebuah analogi yang menggambarkan bagaimana prinsip kesetaraan dalam demokrasi terasa tercederai oleh praktik politik dinasti yang kian vulgar.8

Fenomena ini, yang oleh para pengamat politik disebut sebagai politik dinasti atau nepotisme, seolah menjadi hal yang “wajar” di panggung politik negeri ini.14 Senyuman Presiden yang hangat saat mendampingi anggota keluarganya yang terjun ke politik, seolah menjadi stempel legitimasi, upaya untuk menormalisasi sesuatu yang sejatinya mencederai semangat reformasi dan meritokrasi. Namun, bagi rakyat jelata yang setiap hari menyaksikan bagaimana koneksi dan kedekatan dengan kekuasaan menjadi kunci sukses, “kewajaran” itu terasa seperti sebuah ironi pahit. Citra “merakyat” dan “sederhana” yang selama ini dibangun dengan susah payah, kini mulai tergerus oleh persepsi bahwa kekuasaan telah menjadi semacam warisan keluarga, eksklusif dan elitis. Senyuman yang dulu dianggap tulus dan dekat dengan denyut nadi rakyat, kini dicurigai sebagai bagian dari sebuah permainan politik yang lebih besar, untuk melanggengkan pengaruh dan kekuasaan.

Bagian 5: Senyuman Abadi, Rakyat Jelata Menanti Arti

Dan Presiden terus tersenyum. Senyumannya terpampang di baliho-baliho raksasa di pinggir jalan tol yang baru diresmikan, menghiasi layar televisi saat menyampaikan pidato kenegaraan, bahkan muncul dalam meme-meme jenaka di media sosial. Senyuman yang konsisten, seolah tak tergoyahkan oleh badai kritik, defisit anggaran, atau jeritan rakyat yang tak kunjung usai.3 Sebuah senyuman yang menjadi teka-teki nasional, abadi dalam ketidakpastian maknanya.

Kembali ke sudut-sudut kehidupan rakyat jelata, tempat senyuman itu diterima dengan berbagai tafsir.

Mpok Minah masih setia dengan lapak gado-gadonya di pasar yang semakin sumpek. Harga-harga kebutuhan pokok belum juga mau bersahabat, meski pemerintah sudah berkali-kali “menjamin” stabilitas. Ia memandang poster Presiden yang tersenyum, ditempel seadanya di dinding seng warungnya. “Senyum Bapak mah awet bener ya, Neng, kayak dikasih formalin. Masalah kita rakyat kecil ini yang nggak pernah awet, datang pergi silih berganti kayak musim,” gumamnya pada seorang pelanggan.

Pak Karyo, di desanya, mungkin harus merelakan sawahnya gagal panen lagi tahun ini. Ia duduk termenung di bale-bale bambu depan rumahnya yang sederhana, menatap langit senja yang warnanya sama kelabunya dengan suasana hatinya. “Orang tua dulu bilang, habis gelap terbitlah terang. Ini Bapak Presiden senyum terus dari pagi sampai malam, tapi kok ya di sini rasanya masih remang-remang, belum juga terang benderang,” keluhnya dalam hati, sebuah metafora untuk janji-janji kesejahteraan yang tak kunjung menjadi kenyataan.11

Budi, pemuda yang dulu menganggur, kini mungkin sudah menemukan pelarian sebagai pengemudi ojek online, berjibaku dengan panas dan debu jalanan demi beberapa lembar rupiah. Setiap kali berhenti di lampu merah dan matanya tak sengaja menangkap spanduk bergambar Presiden yang tersenyum dengan slogan pembangunan, ia selalu bertanya-tanya. “Setiap lihat senyum Bapak Presiden di spanduk pinggir jalan, saya jadi mikir, apa ya yang ada di pikiran beliau waktu itu? Apa beliau tahu kalau senyum saja nggak bikin bensin motor saya keisi, atau cicilan motor lunas?” pikirnya, sebuah pertanyaan lugu namun menusuk.

Narator, yang sedari tadi hanya mengamati dari kejauhan, akhirnya menarik napas panjang. Senyuman itu, oh, senyuman itu. Ia telah menjadi simbol harapan bagi sebagian yang masih percaya, tanda tanya besar bagi mereka yang kritis dan merana, atau mungkin, bagi sebagian besar lainnya, hanya lengkungan bibir biasa yang tak punya arti apa-apa lagi bagi roda nasib rakyat jelata yang terus berputar dalam ketidakpastian. Rakyat menunggu, entah apa yang sebenarnya mereka tunggu. Mungkin menunggu janji ditepati, mungkin menunggu keadilan datang, atau mungkin hanya menunggu pemilu berikutnya dengan harapan samar akan perubahan.11 Sambil menunggu, mereka sesekali ikut tersenyum – senyum getir karena menertawakan nasib, senyum pasrah karena tak tahu lagi harus berbuat apa, atau senyum karena memang sudah tak ada lagi yang bisa dilakukan selain ikut tersenyum melihat senyuman abadi sang Presiden, yang maknanya akan terus diuji oleh waktu dan sejarah.16 Sebuah senyuman yang, pada akhirnya, mungkin lebih banyak berkata tentang mereka yang melihatnya daripada tentang dia yang memberikannya.

Bahan bacaan

  1. Daftar Narasi untuk Poles Citra Jokowi, dari Keberhasilan Infrastruktur hingga Pembangunan Indonesia | tempo.co, accessed May 23, 2025, https://www.tempo.co/ekonomi/daftar-narasi-untuk-poles-citra-jokowi-dari-keberhasilan-infrastruktur-hingga-pembangunan-indonesia-150719
  2. Survei Litbang “Kompas”: Citra Positif Jokowi Ditopang Kinerja Pemerintahan, accessed May 23, 2025, https://nasional.kompas.com/read/2024/10/11/10052931/survei-litbang-kompas-citra-positif-jokowi-ditopang-kinerja-pemerintahan
  3. GAYA KOMUNIKASI KEPEMIMPINAN JOKOWI JOKOWI’S LEADERSHIP COMMUNICATION STYLE – Jurnal Universitas Muhammadiyah Jakarta, accessed May 23, 2025, https://jurnal.umj.ac.id/index.php/perspektif/article/download/19443/9849
  4. Penggunaan Media Sosial Instagram dalam Membangun Citra Positif Presiden Joko Widodo pada Pilpres 2019 – Journal of Political Issues, accessed May 23, 2025, https://jpi.ubb.ac.id/index.php/JPI/article/download/48/32
  5. Sejumlah Kritik Faisal Basri Terhadap Pemerintahan Jokowi, dari …, accessed May 23, 2025, https://www.tempo.co/politik/sejumlah-kritik-faisal-basri-terhadap-pemerintahan-jokowi-dari-bansos-pilpres-2024-hingga-kenaikan-ppn-12-persen-11593
  6. Koalisi Masyarakat Sipil: Indonesia gelap masa mengerikan di …, accessed May 23, 2025, https://bangsamahardika.co/isu/koalisi-masyarakat-sipil-indonesia-gelap-masa-mengerikan-di-bawah-pemerintahan-jokowi-dan-prabowo-gibran/
  7. DPR Ramai-ramai Kritik ‘Kebijakan Terakhir’ Jokowi di 2024, accessed May 23, 2025, https://www.cnbcindonesia.com/news/20230524064703-4-439970/dpr-ramai-ramai-kritik-kebijakan-terakhir-jokowi-di-2024
  8. Sederet Kritik BEM UI kepada Pemerintahan Jokowi, Terakhir …, accessed May 23, 2025, https://www.tempo.co/politik/sederet-kritik-bem-ui-kepada-pemerintahan-jokowi-terakhir-jokowi-milik-parpol-bukan-milik-rakyat-183730
  9. Pemilu 2024: Ironi kemunduran demokrasi di tangan Jokowi di balik …, accessed May 23, 2025, https://www.bbc.com/indonesia/articles/c9901z9lp0go
  10. Presiden Jokowi Sebut IKN Kehendak Rakyat, 5 Kritik Pengamat …, accessed May 23, 2025, https://www.tempo.co/ekonomi/presiden-jokowi-sebut-ikn-kehendak-rakyat-5-kritik-pengamat-untuk-mega-proyek-tersebut-5076
  11. 3 Jenis Kasus Pelanggaran HAM Ini Tak Selesai di Era Jokowi …, accessed May 23, 2025, https://www.tempo.co/politik/3-jenis-kasus-pelanggaran-ham-ini-tak-selesai-di-era-jokowi-805538
  12. Indonesia: Masa Jabatan Jokowi Berakhir dengan Keluhan Terkait …, accessed May 23, 2025, https://www.hrw.org/id/news/2024/01/11/indonesia-jokowis-term-ends-whimper-rights
  13. Evaluasi Demokrasi Era Jokowi – detikNews – detikcom, accessed May 23, 2025, https://news.detik.com/kolom/d-7564626/evaluasi-demokrasi-era-jokowi
  14. Politik Dinasti Jokowi Ramai-ramai Disorot Pengamat Politik, Pakar …, accessed May 23, 2025, https://www.tempo.co/politik/politik-dinasti-jokowi-ramai-ramai-disorot-pengamat-politik-pakar-hukum-tata-negara-sampai-media-internasional-76861
  15. Representasi praktik nepotisme keluarga Jokowi pada sampul majalah Tempo | Comdent – Jurnal Universitas Padjadjaran, accessed May 23, 2025, https://jurnal.unpad.ac.id/comdent/article/download/54312/23054
  16. Analisis Pakar UNS soal Senyum dan Respons Jokowi-Gibran Usai Dipecat PDIP, accessed May 23, 2025, https://www.detik.com/jateng/berita/d-7692829/analisis-pakar-uns-soal-senyum-dan-respons-jokowi-gibran-usai-dipecat-pdip