Oleh: ET Hadi Saputra, SH. (Senin, 10 November 2025)
Saya sering melihatnya. Para birokrat sibuk. Mereka suka sekali dengan hierarki, dengan jenjang, dengan aturan yang tertulis di atas kertas berstempel tebal. Ini soal hukum negara, yang kita kenal sebagai Menara Babel Regulasi.
Menara ini punya urutan paten. Paling atas itu UUD 1945. Paling sakti. Dia adalah Bapak dan Ibu dari segala aturan. Di bawahnya baru berderet UU, PP, Perpres, sampai Perda.
Prinsipnya? Sederhana saja: yang lebih rendah wajib tunduk pada yang lebih tinggi.
Kalau ada aturan baru—misalnya Perda—yang ngotot bertentangan dengan UUD, maka Perda itu mati. Otomatis. Sia-sia. Buang-buang tinta, buang-buang waktu rapat. Saya sebut ini kesombongan hukum. Mereka lupa, Konstitusi itu adalah DNA, dan DNA tidak bisa dibohongi oleh selembar Perda.
Kritik Pedas Sang Advokat
Namun, Bapak/Ibu sekalian. Ada satu entitas yang tidak mau tunduk pada Menara Babel ini. Namanya Adat.
Sebagai praktisi hukum yang juga melihat realita di lapangan, saya harus katakan ini: Adat itu bukan hukum civil. Adat itu bukan urusan pasal-pasal dan kantor sertifikat. Adat itu esensi, ia adalah akar yang menghidupi sebuah komunitas.
Kita lihat kasus tanah adat. Secara formal, tanah ini tidak bersertifikat. Kenapa? Karena logika civil law dan hukum adat itu beda alam. Hukum Adat tidak tunduk pada Badan Pertanahan Nasional. Kepemilikannya diukur dari ikatan komunal, dari kearifan lokal, dari pengakuan turun-temurun, bukan dari selembar kertas berharga. Memaksa Adat bersertifikat sama saja memaksanya kehilangan jiwanya.
Mengapa Adat Sangat Sakti?
Lalu, apa dasar Adat bisa berdiri setegak itu? Jawabannya ada di puncak Menara Babel kita: UUD 1945.
Tepatnya di Pasal 18B ayat (2).
Pasal ini adalah Benteng Konstitusi bagi Adat. Pasal ini bilang: Negara wajib mengakui dan menghormati masyarakat hukum adat. Artinya, perlindungan Adat itu langsung dari Konstitusi. Levelnya paling tinggi.
Maka, mohon maaf. Semua aturan di bawah UUD—UU, PP, Perda—yang mencoba-coba menabrak, mengabaikan, atau bertentangan dengan Adat yang masih hidup, otomatis batal demi hukum.
Mengapa? Karena aturan itu secara tidak langsung sudah menabrak Pasal 18B ayat (2). Dan menabrak Konstitusi, ya kiamat bagi aturan itu.
Jadi, melestarikan Adat tidak butuh UU apalagi Perda. Adat itu sudah paripurna. Jika birokrasi berniat baik, cukup hormati dan akui saja. Jangan malah membuat aturan baru yang ujung-ujungnya hanya akan membelenggu Adat dalam labirin birokrasi.
Hormat saya, biarkan hierarki hukum negara fokus membereskan tumpang tindih di antara UU dan PP. Biarkan Adat tetap menjadi Adat, sejajar dengan kearifan, bukan dengan birokrasi.
Tags dan Metadata
Hashtags:
#ethadisaputra #HukumAdat #UUD1945 #HierarkiHukum #DahlanIskanStyle #KritikHukum #TanahAdat
SEO Tags:
Judul Format:
20251110 Tembok Regulasi Vs Akar Konstitusi – ET Hadi Saputra










