Tahun Rilis: 2024 (6 Juni 2024)
Durasi: 100 Menit
Penulis Naskah: Vidya T. Ariestya, Bambang Drias
Sutradara: Bambang Drias
Genre: Horor
Rumah Produksi: Loop Entertainment (Indonesia), Armani Entertainment (Malaysia)
Film Paku Tanah Jawa (2024), garapan Bambang Drias, datang menggebrak bioskop dengan janji horor klenik khas Nusantara, apalagi katanya mengangkat urban legend Gunung Tidar yang keramat itu. Di tengah menjamurnya film horor yang kadang cuma modal pocong loncat-loncat, film ini mencoba menawarkan kisah pesugihan sinden primadona yang penuh tumbal. Niatnya sih mau bikin bulu kuduk berdiri, menggali ketakutan terdalam masyarakat akan praktik ilmu hitam. Tapi, di balik semua bumbu mistis dan jumpscare yang katanya “berlapis-lapis” itu, kok ya film ini malah terasa seperti parade klise yang bikin kita bertanya-tanya, “Ini film horor apa komedi terselubung sih? Malah bikin ngakak daripada merinding!”
Jumpscare “Berlapis-lapis” dan Hantu yang “Nanggung”
Dari segi artistik, Paku Tanah Jawa lumayan sih. Sinematografinya mungkin coba bikin suasana horor khas Jawa, dengan nuansa gelap dan lokasi-lokasi yang konon angker. Sound design-nya, menurut beberapa review, katanya digarap apik, siap bikin bulu kuduk berdiri. Dan tentu saja, yang paling diagung-agungkan: jumpscare yang “berlapis-lapis”. Wah, berlapis-lapis! Seolah makin banyak jumpscare, makin berkualitas film horornya. Penonton ‘kan suka dikagetin, bukan disuruh mikir. Mikir itu dosa, bikin kepala pusing.
Tapi, di balik klaim “berlapis-lapis” itu, kok ya penampakan hantu di film ini katanya “tidak begitu menyeramkan, masih aman untuk dilihat dengan mata tanpa ditutupi tangan.” Lho, katanya horor? Kok aman? Jadi, ini film horor yang cocok buat anak TK atau yang punya riwayat penyakit jantung? Ini mah namanya bukan horor, tapi drama keluarga pakai bumbu mistis tipis-tipis. Kualitas visual hantunya pun sering dikritik kurang memuaskan, bahkan ada yang bilang “ada unsur yang dipaksakan pada editing akhir.” Ya ampun, di era CGI udah secanggih sekarang, kok masih ada hantu yang kayak ditempel pakai PowerPoint? Mungkin anggaran buat efek visual dialihkan buat bayar sindennya aja kali ya, kan Masayu Anastasia main di sini.
Film ini adalah parade jumpscare yang melelahkan, sebuah orkestra suara kaget yang dirangkai dengan formula yang itu-itu saja. Penonton seolah dipaksa buat ngapresiasi setiap “boom!” mendadak dan setiap penampakan hantu yang “nanggung”, karena katanya itulah “inti” horor. Tapi di balik semua gebyar suara dan penampakan yang kurang greget itu, jiwa seramnya terasa kosong melompong. Seolah-olah, kalau jumpscare-nya sudah banyak, penonton pasti lupa kalau hantunya kayak kurang gizi atau ceritanya enggak jelas. Paku Tanah Jawa ini contoh nyatanya. Semua elemen teknisnya udah siap jadi “film horor paling bikin kaget,” tapi kalau penampakan hantunya enggak niat, ya jadinya kayak nonton sulap gagal yang ketahuan triknya.
Ini lebih mirip demonstrasi kekuatan suara daripada sebuah karya horor yang benar-benar mencekam. Ibaratnya, kayak pameran speaker di depan orang bisu: cuma bisa bikin kaget, tanpa nyampai ke hati. Ini bukan lagi soal filmnya jelek, tapi filmnya salah fokus dalam menciptakan ketakutan. Ambisi bikin film horor yang jujur sama urban legend memang patut dipuji, tapi apakah harus dengan mengorbankan kualitas hantu dan konsistensi cerita? Kalau tujuannya cuma bikin penonton teriak kaget sesekali, kenapa enggak langsung bikin video kompilasi sound effect horor saja? Lebih hemat, lebih “efektif” menakut-nakuti.
Cerita Pesugihan yang ‘Ganjil’ dan Konflik yang Bikin Panas Kepala
Film ini mengangkat tema pesugihan yang diangkat dari urban legend Gunung Tidar. Premisnya: sinden Handini (Masayu Anastasia) bersekutu dengan Kanjeng Semanu, menumbalkan banyak pria demi kelancaran sanggar dan kecantikannya. Ningrum (Gisellma Firmansyah), anaknya, jadi korban cibiran warga dan harus berhadapan dengan teror gaib setelah pacar diam-diamnya, Jalu, juga jadi tumbal. Sebuah konsep yang cukup dark dan punya potensi.
Tapi, konflik film ini katanya “tidak fokus dengan pesugihan yang dilakukan oleh Handini.” Latar belakang dan tujuan Handini melakukan pesugihan pun “tidak dijelaskan.” Lho, kok bisa? Ibu pesugihan kok enggak jelas motivasinya? Jangan-jangan dia cuma iseng atau lagi ikut tren pesugihan online? Ini kan inti ceritanya! Atau mungkin, para penulis skenario terlalu sibuk nyari lokasi syuting yang pas di Jogja sampai lupa ngembangin karakter utama?
Karakter-karakter sampingan pun kadang muncul dengan alasan yang dipertanyakan. Ada karakter Malaysia yang tiba-tiba muncul, enggak jelas tujuannya apa, eh tau-tau mati dililit siluman ular. *Ini plot twist apa cuma kehabisan ide biar ada adegan seram? Mungkin biar ada bumbu kolaborasi Indonesia-Malaysia, jadi harus ada karakter dari negara sebelah, biar penonton dari sana ikutan penasaran. Enggak peduli kalau karakternya cuma numpang lewat buat jadi tumbal.
Penyelesaian masalahnya pun, dengan Ningrum yang tiba-tiba dapat tombak sakti “Paku Tanah Jawa” dari seorang Kyai buat memusnahkan ilmu hitam, terasa sangat instan. Wah, hebat banget, masalah pesugihan kompleks cuma butuh satu tombak sakti! Kenapa enggak dari awal aja si Kyai bagi-bagi tombak sakti ke semua warga biar enggak ada yang kena tumbal? Realistis sekali, bukan? Seolah masalah klenik yang rumit bisa selesai cuma dengan satu benda pusaka. Sungguh, alangkah indahnya jika dunia nyata sesederhana itu.
Gambaran praktik pesugihan dan kepercayaan lokal di film ini memang relevan. Tapi, film ini gagal menggalinya dengan serius. Fokusnya terlalu pada jumpscare dan adegan darah-darahan, hingga konflik batin karakter atau pesan moral tentang dampak pesugihan jadi tenggelam. Sineasnya kayaknya terlalu asyik sama ide biar filmnya “seram”, sampai lupa kalau cerita horor yang bagus itu butuh pondasi yang kuat, bukan cuma tempelan mistis. Prioritas, kawan! Padahal, film yang kuat itu bukan cuma yang bisa bikin kita teriak kaget, tapi yang punya keberanian untuk ngasih tahu akar masalah kejahatan gaib ini. Ini mah, filmnya cuma kayak daftar belanjaan adegan seram tanpa resep yang jelas, bikin kita cuma bisa garuk-garuk kepala.
Kesimpulan: Horor yang Berusaha Keras, Tapi Kehilangan Arah
Paku Tanah Jawa adalah film horor yang ambisius dan mencoba mengangkat klenik lokal. Film ini mungkin sukses secara visual dan sound design untuk bikin jumpscare. Tapi, ambisinya mau jadi film horor yang bikin “panas kepala” malah jadi bumerang. Film ini mengorbankan cerita yang kuat dan karakter yang mendalam demi bikin adegan-adegan yang bikin kaget tanpa makna. Jadinya, penonton ngerasa ceritanya terlalu berantakan dan kurang punya daya dorong untuk mengubah pandangan tentang horor Indonesia. Mungkin tujuan utamanya memang bukan bikin film yang bikin penonton mikir, tapi bikin film yang bikin penonton cuma teriak-teriak dan lupa sama alur ceritanya. Strategi bisnis yang cerdas, tapi kurang “mengerti hati” penikmat film.
Film ini adalah tontonan yang membuat kita terlonjak, tapi juga tantangan buat sineas Indonesia. Tantangan untuk enggak cuma mikirin adegan yang “seram banget”, tapi juga pastiin kalau setiap filmnya bisa berdiri sendiri sebagai karya seni yang utuh. Dengan karakter yang kuat dan tema yang digali dalam-dalam. Paku Tanah Jawa sudah membuktikan bahwa kita bisa membuat film horor yang ramai di bioskop. Sekarang, yang dibutuhkan adalah cerita yang lebih kokoh dan punya keberanian, supaya film Indonesia enggak cuma keren di trailer, tapi juga bisa nyentuh hati penonton tanpa harus sibuk menerjemahkan setiap plot hole dan jumpscare dadakan. Semoga ke depannya, para pembuat film bisa menemukan keseimbangan antara ambisi artistik dan cerita yang menyentuh, sehingga film horor Indonesia tidak hanya jadi tontonan, tapi juga meninggalkan kesan, bukan sekadar pertanyaan: “Ini film apa sih? Kok habis nonton malah bingung?” Ya, kalau cuma adu kaget dan darah-darahan, mending nonton video viral di TikTok saja, gratis! Dan kalau cuma mau lihat sinden bersekutu sama setan, berita di koran lokal juga sering kok, tanpa perlu bayar tiket bioskop.