Redenominasi Rupiah: Ambisi Kosmetik Elit di Tengah Ketidakpastian Ekonomi Rakyat

0
44

Wacana redenominasi atau penyederhanaan nilai mata uang Rupiah kembali dihembuskan dengan target ambisius. Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Harga Rupiah (Redenominasi) telah masuk dalam Rencana Strategis Kementerian Keuangan (Kemenkeu) 2025-2029, dengan target pemangkasan tiga angka nol (misalnya, dari Rp1.000 menjadi Rp1) yang diharapkan dapat diselesaikan penuh pada 2027. Kebijakan ini, yang telah bertahun-tahun menjadi agenda tertunda, kini tampil kembali, diusung dengan narasi modernisasi dan efisiensi.

Namun, di balik jargon efisiensi administratif dan peningkatan citra mata uang, rencana redenominasi di tengah kondisi makroekonomi yang masih rentan dan diwarnai ketidakpastian ini patut dikritisi tajam. Kebijakan ini terasa lebih sebagai ambisi kosmetik elit yang mengorbankan stabilitas psikologis pasar, daripada kebutuhan mendesak bagi perekonomian nasional yang sesungguhnya.

Kepentingan Administratif vs. Prioritas Rakyat

Argumen utama pendukung redenominasi adalah efisiensi sistemik. Mereka berdalih bahwa Rupiah yang terlalu banyak nol memperumit sistem akuntansi, IT perbankan, dan laporan keuangan negara. Tentu, secara teknis, memangkas nol akan membuat angka-angka di neraca terlihat lebih “cantik” dan ringkas.

Pertanyaannya, bagi siapa efisiensi ini paling terasa? Sebagian besar manfaat langsung dari penyederhanaan ini akan dinikmati oleh sektor korporasi besar, bank, dan birokrasi negara—lingkaran elit yang operasionalnya sangat bergantung pada sistem IT kompleks.

Sebaliknya, bagi ratusan juta rakyat Indonesia, terutama pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), petani, dan pedagang di pasar tradisional, manfaat efisiensi ini hampir nihil. Transaksi mereka sudah berjalan lancar dengan uang tunai. Bagi mereka, perubahan nilai nominal yang radikal hanya membawa kebingungan, risiko salah hitung, dan yang paling parah, inflasi psikologis. Prioritas pembangunan seharusnya dialokasikan untuk menyelesaikan masalah struktural, bukan masalah nominal.

Momentum yang Fatalistik

Bank Indonesia (BI) dan sejumlah ekonom telah berulang kali mengingatkan bahwa syarat mutlak untuk redenominasi adalah stabilitas makroekonomi yang paripurna: inflasi sangat rendah dan stabil, nilai tukar kuat dan kokoh, serta pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

Dalam konteks 2025-2027, Indonesia masih berada dalam bayang-bayang ketidakpastian global yang akut. Inflasi, meski terkendali, masih terpengaruh gejolak harga pangan dan energi. Nilai tukar Rupiah masih tertekan signifikan terhadap Dolar AS. Melakukan redenominasi saat fondasi moneter dan nilai tukar masih rapuh adalah tindakan yang sangat berbahaya.

Redenominasi adalah kebijakan kepercayaan. Jika pasar melihat pemerintah memaksakan perubahan nominal di saat fundamental sedang goyah, ini bisa diterjemahkan sebagai sinyal kepanikan atau, yang lebih buruk, sebagai prelude menuju sanering (pemotongan daya beli). Kekhawatiran ini dapat memicu tindakan irasional di pasar dan memperburuk volatilitas Rupiah.

Biaya Triliunan untuk Risiko yang Tidak Perlu

Redenominasi bukanlah kebijakan ‘gratis’. Biaya yang harus ditanggung negara dan swasta sangatlah masif.

  1. Biaya Cetak dan Distribusi: Mencetak dan mengganti seluruh uang kartal (kertas dan logam) dengan desain dan nominal baru akan menghabiskan triliunan Rupiah. Belum lagi biaya logistik untuk menarik dan memusnahkan uang lama.
  2. Biaya Penyesuaian Sistem IT: Seluruh lembaga keuangan, ritel modern, hingga warung yang menggunakan sistem kasir elektronik harus meng-upgrade sistem mereka. Ini adalah beban biaya yang besar yang mau tidak mau akan diteruskan kepada konsumen.
  3. Biaya Sosialisasi dan Edukasi: Fase transisi di mana uang lama dan uang baru beredar bersamaan (koeksistensi) membutuhkan kampanye edukasi masif yang memakan waktu minimal 5-7 tahun dan menelan anggaran besar. Kegagalan sosialisasi akan berakibat fatal pada kepercayaan publik.

Dana triliunan yang dialokasikan untuk proyek kosmetik ini seharusnya bisa diinvestasikan pada sektor yang jauh lebih produktif, seperti subsidi tepat sasaran, pendidikan berkualitas, atau pengembangan riset dan teknologi untuk meningkatkan daya saing riil.

Ancaman Nyata: Eksploitasi Pembulatan Harga

Risiko terbesar dan paling merugikan rakyat kecil adalah inflasi psikologis yang dieksploitasi. Walaupun secara teori daya beli tetap, praktik di lapangan akan sangat berbeda.

Pedagang di tingkat eceran memiliki insentif kuat untuk membulatkan harga ke atas begitu nol dihilangkan.

Contoh: Harga kerupuk Rp1.700. Setelah redenominasi, ini menjadi Rp1,7. Tidak mungkin pedagang menerima pecahan 0,7 Rupiah. Pembulatan yang logis adalah ke angka Rp2. Kenaikan 300 Rupiah atau 0,3 Rupiah baru mungkin terdengar kecil, tetapi kenaikan harga riilnya mencapai lebih dari 17%.

Jika pembulatan ke atas ini terjadi secara serempak pada ratusan jenis barang dan jasa di seluruh pelosok negeri, akumulasi kenaikannya akan menciptakan gelombang inflasi yang masif dan buatan. Ini adalah ‘pajak tidak resmi’ yang secara brutal memukul daya beli masyarakat miskin, yang pendapatannya cenderung tetap. Pemerintah akan kesulitan mengontrol praktik pembulatan ini karena ini murni isu perilaku pasar.

Kesimpulan: Menunda demi Kesiapan Riil

Rencana redenominasi Rupiah tampak seperti upaya memoles etalase ketika fondasi bangunan ekonomi masih rapuh. Kebijakan ini menunjukkan kecenderungan pemerintah untuk menyelesaikan masalah dengan pendekatan simbolis daripada struktural.

Jika pemerintah benar-benar ingin Rupiah dipandang setara dengan mata uang global, fokusnya haruslah pada penguatan fundamental: menjaga pertumbuhan ekonomi yang inklusif, menciptakan lapangan kerja berkualitas, mengendalikan defisit, dan memastikan nilai tukar yang stabil dan kompetitif secara alami.

Memaksakan redenominasi di tengah ketidakpastian hanya akan menghasilkan biaya besar, risiko instabilitas moneter, dan yang terpenting, kerugian nyata pada daya beli rakyat kecil akibat inflasi psikologis yang tak terhindarkan. Sebaiknya, RUU ini ditunda hingga setidaknya Indonesia mencapai stabilitas makroekonomi yang diakui secara luas, dan hingga kesiapan sosialisasi kepada seluruh lapisan masyarakat benar-benar matang. Kepentingan rakyat harus di atas ambisi kosmetik.

Leave a reply

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini