Minang Marentak!

272


Oleh: Dr. Gamawan Fauzi, Dt. Rajo Nan Sati

Pernyataan DR. Ade Armando dosen UI yang mengomentari permintaan Gubernur Sunatera Barat untuk menutup aplikasi injil berbahasa Minang di google play store kepada Menkominfo, bahwa: “Orang Minang terbelakang dan lebih kadrun daripada kadrun, padahal dulu banyak menghasilkan orang-orang pintar”, mendapat reaksi yang luas di kalangan masyarakat Minang.

Tak kurang dari Ketua MUI Sumbar, buya Gusrizal Gazahar Lc.MA mengeluarkan pernyataan yang sangat berkelas, menurut Ketua MUI tersebut, para pemimpin asal Minang, lahir dan dibesarkan di surau. Surau adalah tempat belajar Alquran, Alquran itu adalah Kitabullah. Itulah yang menjadi filosofi masyarakat Minang, yaitu Adat Basandi syarak, syarak basandi Kitabullah.

Ketua MTKAAM, Irfianda Abidin lebih keras lagi. Beliau menyatakan mencoret nama Ade Armando sebagai orang Minang dan ada pula yang menantang Ade Armando untuk diskusi terbuka. Dikalangan masyarakat luas yang umumnya terlibat dalam media sosial, juga merasa gerah, banyak group WA yang saya ikuti memperbicangkan dan member nya merasa tersinggung dengan pernyataan Ade Armando itu, walaupun seperti biasa, tentu juga ada yang diam dan bahkan membela. Tapi jumlahnya tak banyak.

Kenapa orang Minang tersinggung? Maaf. kalau ada ucapan yang sama untuk suku bangsa lain di negeri ini, apakah masyarakatnya juga tersinggung? Pertanyaan itu di lontarkan kepada saya dari seorang teman yang bukan berasal dari Minang. Saya jawab, “Tergantung kepada suku bangsa mana pernyataan itu di alamatkan dan apa pernyataannya. Kalau anda menghina Hindu kepada suku Bali, saya kira mereka juga akan tersinggung. Setiap kelompok masyarakat, apalagi suku bangsa, mempunyai filosofis dalam hidup mereka”

Filosofis atau falsafah hidup itu selalu menjadi rujukan dalam bersikap, berbuat dan bertingkah laku. Bagi komonitas sosial yang kuat memegangnya, maka pelanggaran atasnya dapat dibuang dalam pergaulan sosialnya. Orang Minang menyebut, dibuang sepanjang adat. Tidak diikutkan sehilir semudik. Tidak diajak baiyo batido, dan tak lagi memperokeh hak waris adat atau dalam bahasa lugasnya. Tak lagi dianggap ada dalam masyarakat, tak ditegur sapa. Itu hukum sosial yang hidup. The living law of the people

Kemudian muncul pertanyaan, adat Minang punya aturan, bahwa Adat salingka Nagari, Pusako salingka kaum. Kenapa komunitas masyarakat Minang bisa memberi sangsi sosial, seperti tidak diakui, dicoret sebagai orang Minang atau dibuang sepanjang adat? Memang benar, tapi ada yang disebut Adat sebatang Panjang. Yang memuat prinsip prinsip dasar adat secara menyeluruh dan berlaku bagi semua masyarakat Minang dan seluruh Nagari di Minangkabau.

Mungkin inilah yang menjadi landasan pikir dari pernyataan sikap MTAAKAM yang mencoret nama Ade Armando sebagai orang Minang. Sikap komunitas masyarakat Minang dalam menyikapi reaksi Pemda Sumbar, MUI , MTKAAM dan yang lainnya, bisa saja dipertanyakan oleh banyak oramg atau kalangan. Bisa di tuduh intoleran dalam ber NKRI, diaggap sok agamis, berpandangan sempit dan terbelakang.

Saya masih ingat. Ketika menjadi Bupati Solok 20 tahun lalu, awal otonomi daerah diberlakukan, saya membuat 3 Perda Syariah, bersama DPRD yang materinya dibantu oleh MUI Kab. SOLOK yang waktu itu dipimpin oleh ustad Gusrizal Gazahar, yaitu Perda pakaian muslimah, Perda Wajib Pandai baca tulis Alqur’an dan Perda Zakat.

Beberapa kalangan yang mengaku intelektual Muslim atau Muslim intelektual memprotes, akhirnya, saya layani dengan debat atau dialog di salah satu TV Swasta Nasional di Jakarta. Debat itu cukup lama dan hangat. Di ujung debat, saya katakan kepada Profesor perempuan itu bahwa dalam sistem otonomi ini, pusat harus memberi ruang yang cukup kepada Daerah untuk memelihara nilai-nilai lokalnya sepanjang tak bertentangan dengan kepentingan nasional. “Dalam hal ini, kepentingan nasional apa yang kami langgar? Seharusnya anda menghormati kebijakan kami yang 99,99 persen beragama Islam dan berusaha memperkuat kehidupan islami yang di yakini masyarakat kami agar masyarakat hidup dalam ketentraman, kenyamanan dan kebahagiaan apalagi aturan itu juga disebutkan hanya untuk warga yang beraga islam. Anda sendiri sekarang berhijab, kenapa anda tidak buka saja hijab itu? Kata saya kepadanya.

Sebagai perbandingan, bukan hanya di era Otonomi, sejak dulu sampai sekarang siapa saja yang tengah berada di pulau Bali saat acara Nyepi, ikut menghormatinya. Bahkan pesawatpun tunda berangkat beberapa saat. Hingga kini tak pernah ada yang protes. Kenapa untuk kami anda protes? Itulah akhir dialog tersebut, karena waktu sudah habis. Saat ini, dalam kehidupan berbagsa dan bernegara di bawah semboyan NKRI harga mati, banyak yang berlebihan menyikapi sesuatu. Kadang dengan berlebel gelar pendidikan, atau ketokohan nasional, membuat tafsiran yang berlebihan terhadap sesuatu, yang men judge orang lain berpikiran dangkal, sempit, radikal, dungu, dan sebagainya.

Mereka kadang merasa paling pintar, paling terpelajar, paling maju berfikirnya. Mereka marasa menjadi bagian masyarakat dunia yang luas dan modern, sementara orang lain dianggap Kadrun, karena membawa bawa agama. Kadrun menurut Ade , adalah pikiran sempit dan radikal . Bahkan orang orang seperti ini kadang merasa paling NKRI dan paling Pancasila, sehingga menganggap kalau sudah paling pancasila dan paling NKRI mereka juga tak tersentuh hukum.

Penyakit “merasa” ini belakangan ini tumbuh di beberapa kalangan dan merasa sangat jumawa, semua dikomentari dan semua dilawan. Saya tak mengerti, gejala apa pula ini? Ada pula sebagian masyarakat kita dewasa ini yang berfikir bahwa kalau ada yang merujuk rujuk ajaran Islam, merupakan indikator kebodohan dan keterbelakangan, bahkan anehnya, seorang guru besar bidang agama sampai-sampai meminta agar pelajaran agama dihapuskan saja, bila ingin negara ini maju.

Dalam alam demokrasi, melahirkan pendapat, pikiran dan menyampaikan argumentasi adalah sesuatu yang sah dan dijamin Undang Undang Dasar 1945. Di Minangkabau pun hal itu justeru menjadi sesuatu keniscayaan sejak zaman nenek moyangnya. Bahkan tak kurang almarhum Nurcholis Madjid mengatakan, kalau ingin berdemokrasi belajarlah ke Minangkabau. Orang Minang menganut paham, Basilang Kayu dalam tungku, baitu api mangko iduik. Duduak surang basampik sampik, duduak basamo ba lapang lapang. Tapi setiap pendapat harus di sampaikan dengan cara-cara yang berakhlaq dan beretika. Orang Minang menyebut “Tau Di Nan Ampek”, bukan selonong boy. Ada jalan mandaki, ada jalan manurun, ada jalan malereang dan ada jalan mandata. Tau sopan jo santun. Tau ereang jo gendeang, tau rantiang ka mancucuak, tau dahan ka ma impok. Tak peduli terpelajar dan bergelar pendidikan yang tinggi, tapi semua terdidik dan bataratik (berasal dari kata ‘tertib’)

Orang Minang tak pernah berlebih-lebihan menghargai orang kaya, berpangkat atau nekad pemberani. Orang Minang mengatakan, kok kayo, kami indak mamintak, kok pandai kami tak batanyo. Kok bagak kami tak ka bacakak (berkelahi). Tapi kalau berbudi, kami segani. Bagi masyarakat Minang yang bermental mandiri, sikap tak tergantung kepada orang lain adalah prinsip. Dengan sikap kemandiriannya itu orang Minang biasanya juga mampu menyesuaikan diri dengan dengan lingkungannya. Mereka berbaur dengan masyarakat dimana dia bertempat tinggak. Mereka bukan suku bangsa ekslusif. Lihatlah di seluruh penjuru bumi, mana ada kampung Minang. Sementara ada kampung Melayu, kampung Ambon, kampung Bugis, kampung Jawa, kampung Bali dan lain sebagainya. Karena filosifis hidup mereka, dima bumi dipijak, disitu langit di junjung, dima ayia disawuak, disitu rantiang di patah. Karena itu, penyataan Ade Armando yang menyinggung puncak kada, masyarakat Minang, terasa menyakitkan sekali. Bisa dipahami pula, kalau orang Minang kemudian marentak (meminjam istilah Ery Mefri, sang Maestro Tari/gerak), yang bisa diartikan marah sambil menghantam kaki.

Jangan bicara sok hebat dengan masyarakat Minang yang sejak zaman behaula sudah berfikir jauh ke depan (out ward looking) dan jauh ke luar (out of the box). Tak usah merasa paling pintar, karena orang Minang yang berbasis surau itu, sejak dahulu saja sudah banyak yang menguasai belasan bahasa. Tan Malaka menguasai 14 bahasa, Agus Salim 13 bahasa dan sudah merantau, jauh ke mancanegara, sementara Republik ini belum lagi ada. Siapa pendiri kota Manila, bukankah Raja Sulaiman yang berdarah Minang, yang patungnya berdiri di Kota Manila. Siapa pencipta lagu Nasional Sungapore? Bukankah orang Minang? Dan banyak contoh lagi yang terlalu panjang untuk saya sebutkan, tapi baca juga buku Payung Terkembang, yang ditulis Abdul Samad, orang Malaysia, bagaimana raja-raja Minang dijemput untuk jadi raja di Malaysia di masa lalu.

Ade Armando yang mengkritisi sikap Gubernur Sumatera Barat, mungkin tak paham bagimana berjalin berkulindannya antara adat dan pemerintahan di Sumatera Barat. Gubernur itu pemimpin formal, tapi sekaligus pemimpin informal, yang di tinggikan sarantiang dan didahulukan salangkah okeh masyarakat.

Walaupun tak dilegalkan seperti halnya Daerah Istimewa Yogyakarta. Lihatlah bagaimana Nagari di Minangkabau, bukan hanya sebagai wilayah administratif tapi juga sebagai komunitas adat. Itu diakui dalam Undang Undang Desa.

Saya perlu mengingatkan Ade Armando, kalau lupa, bahwa di dalam penjelasan Undang Undang Dasar 1945, disebut secara ekplisit, ‘Nagari di Minangkabau’ sebagai contoh. Jika Ade Armando merasa hebat, hebat sajalah, atau silakanlah hebatnya. Jangan dibesarkan lampu sendiri, tapi dipadamkan lampu orang lain.

Presiden Jokowi mengangkat isu Revolusi Mental sejak periode pertama, jika Ade dan kita mendukung program tersebut, tentu sikap yang merendahkan itu kontradiktif dengan program pemerintahan Jokowi, karena mental kita mestinya mental berketuhanan, bekemanusiaan, ber Persatuan Indonesia, berhikmah kebijaksanaan dan berkeadilan. Saya kira Ade Armando paham, bahwa di Minangkabau mungkin ribuan jumlah orang bergelar doktor dan profesor, tapi mereka tak menyakiti, mereka berbagi ilmu, mereka bertutur kata pantang menyinggung. Karena orang Minang paham betul, setiap manusia punya kelebihan dan kekurangan.

Kata orang Minang, tak ada kayu yang terbuang, kok pakak palatuih badia, kok buto pa ambuih lasuang, kok lumpuah pausia ayam. Menurut saya, itulah sikap profesional, karena manusia tidak tahu semua hal. No body is perfect. Dan karena itu pula pula tumbuh sikap rendah hati dan tawadhu’ dan saling menghargai. Sekarang, kaki lah ta langkahan, tapijak arang, hitam tapak, kata orang Minang, bila berat rasanya minta maaf, saya hanya berharap, cukuplah sampai di sini mencederai orang lain atau komunitas lain. Kita ini sebagai manusia ada keterbatasan pengetahuan. Ade mungkin hebat dalam teori komunikasi bahkan bergelar doktor, orang lain tentu hebat pula di bidangnya masing-masing.

Demi Allah, saya tak bermaksud mengajari Ade, disamping tak pantas, saya bukan orang yang lebih, justeru banyak kekurangan. Saya hanya ingin mengingatkan, agama saya mengajarkan, saling mengingatkan dengan kebenaran, kesabaran dan kasih sayang. Karena saya menyayangi Ade Armando seorang guru dari para mahasiswa, yang akan digugu dan di tiru, seorang terdidik dan terpelajar, saya merasa rugi dan juga mungkin bangsa ini bila nanti Ade tak lagi dianggap seperti itu.

Untuk masyarakat Minang, dengan rendah hati saya meminta, kita maafkanlah Ade Armando sekali ini. Pemaaf itu lebih baik, kata Allah. Mari kita terus berbenah meraih kemajuan duniawi dan ukhrawi. Mudah mudahan kita memperoleh fiddun ya hasanah, wa fil akhirati hasanah, waqina azabannaar. Masyarakat Minang tak usah ikut mencela. Kita diingatkan Allah dalam Alquran, wailullikulli humazatillumazah dst, Celakalah bagi pengumpat dan pencela. Mari kita lanjutkan kehidupan Ranah Minang yang makin islami, dalam negara Kesatuan Republik Indoneia ini yang kita cintai. Kita tentu ingat, betapa kakek nenek kita berandil besar dalam mendirikannya. Ingat angku kita Tan Malaka, Agus Salim, St. Sjahrir, Imam Bonjol, M. Natsir, Buya Hamka, Rahmah El Yunusiah, Rasuna Said, St. Moh Rasjid, Bung Hatta sang Proklamator, Yamin, Adinegoro, dan ratusan lainnya yang tak saya sebutkan satu persatu. Angku atau kakek nenek kita yang bersaham dalam mendirikan republik ini cintanya selaras antara kampung halamannya dan Indonesia. Cintanya pada Tanah Air tak menyurutkan cintanya kepada kampung halaman secara subjektif, seperti kata Einstein.

Soal bernegara, Bung Hatta pernah mengutip kalimat Ernes Renan di sidang KMB. “Ada satu negeri yang menjadi negriku, negeri itu tumbuh dengan kekuatan, kekuatan itu ada di tanganku”

Mereka memegang keduanya sama sayangnya. Mari kita lanjutkan kehidupan masyarakat Minangkabau dan masyarakat Indonesia dengan taat aturan, damai dan taqwa.