Profesor Tak Beradat

18

Profesor tak Beradat: Sebuah Analisis Kritis terhadap Kehilangan Asian Values di Masyarakat Terdidik.

Persyaratan menjadi guru besar di Indonesia yang hanya fokus pada epistemologi Barat memang memicu berbagai kritik dan kekhawatiran, salah satunya terkait dengan potensi termarginalisasinya nilai-nilai ketimuran seperti harkat, martabat, nama baik, kejujuran, dan keadilan. 

Penghargaan Epistemologi Barat semata dan tidak diwajibkannya keberadaan Harkat, Martabat, Nama Baik, Kejujuran, dan Keadilan.

1. Perbedaan Paradigma Epistemologis:

  • Epistemologi Barat umumnya menekankan pada objektivitas, universalitas, dan rasionalitas. Pengetahuan dianggap valid jika dapat diuji secara empiris dan logis.
  • Nilai-nilai ketimuran seperti harkat, martabat, nama baik, kejujuran, dan keadilan seringkali berakar pada konteks sosial dan budaya yang menekankan harmoni, keseimbangan, dan rasa hormat. Pengetahuan dilihat sebagai sesuatu yang terikat pada konteks dan komunitas tertentu.

2. Potensi Marginalisasi Nilai-nilai Ketimuran:

  • Fokus berlebihan pada epistemologi Barat dalam syarat menjadi guru besar dapat mengarah pada pengabaian nilai-nilai ketimuran dalam penelitian dan publikasi ilmiah.
  • Hal ini dapat memicu persepsi bahwa nilai-nilai ketimuran tidak ilmiah atau tidak relevan dengan dunia modern.
  • Kurangnya pengakuan terhadap epistemologi lokal dapat memperkuat stereotip negatif tentang budaya dan pemikiran Timur.

3. Ketimpangan Kekuatan dan Hegemoni Epistemik:

  • Dominasi epistemologi Barat dalam dunia akademis global dapat dilihat sebagai bentuk hegemoni epistemik, di mana satu cara berpikir diprioritaskan dan dilegitimasi atas cara lain.
  • Hal ini dapat memperkuat ketidaksetaraan dan ketidakadilan dalam komunitas ilmiah global.
  • Akademisi dari negara-negara non-Barat mungkin merasa tertekan untuk mengadopsi epistemologi Barat agar diakui dan dihargai dalam komunitas global.

4. Pentingnya Dialog dan Keragaman Epistemologis:

  • Perkembangan ilmu pengetahuan yang inklusif dan adil membutuhkan dialog dan pertukaran ide antara berbagai perspektif epistemologis.
  • Nilai-nilai ketimuran seperti harkat, martabat, nama baik, kejujuran, dan keadilan dapat memberikan kontribusi yang berharga bagi pemahaman kita tentang dunia dan pengembangan ilmu pengetahuan.
  • Penting untuk membangun ruang akademis yang menghargai dan mempromosikan keragaman epistemologis.

5. Menuju Pendekatan Epistemologi yang Seimbang:

  • Syarat menjadi guru besar tidak harus hanya terpaku pada epistemologi Barat.
  • Penting untuk membuka ruang bagi epistemologi lokal dan perspektif alternatif dalam penilaian kinerja akademik.
  • Diperlukan upaya untuk membangun epistemologi yang lebih inklusif dan kontekstual yang menghargai nilai-nilai universal dan nilai-nilai lokal.

Kesimpulan:

Fokus pada epistemologi Barat dalam syarat menjadi guru besar di Indonesia perlu dikaji secara kritis dengan mempertimbangkan potensi marginalisasi nilai-nilai ketimuran. Dialog dan keragaman epistemologis sangat penting untuk membangun ilmu pengetahuan yang inklusif, adil, dan bermakna bagi semua. Menuju pendekatan epistemologi yang seimbang dan kontekstual merupakan langkah penting untuk memperkaya wacana ilmiah dan memajukan ilmu pengetahuan di Indonesia demi menghasilkan pemimpin masyarakat yang memiliki harkat, martabat, nama baik, berlaku jujur dan adil.